2. Senyum

84.1K 6.7K 212
                                    

Diano melangkah masuk ke dalam rumah, rumah yang sudah 16 tahun di tinggalinya.

"Ma!" Teriaknya memanggil sang Mama.

"Apa?" Artha keluar dari ruang kerjanya dan menatap anaknya yang menyengir begitu lebar.

"Enggak, cari aja." Diano melangkah ke dapur untuk mengambil cemilan miliknya.

"Di, bisa bantu Mama, nggak?" Tanya Artha mendekat ke anak semata wayangnya itu.

"Bantu apa?" Diano memakan cemilan-nya.

"Temani Mama ke butik, mau cari baju."

"Baju buat apa? Baju Mama kurang?" Tanya Diano.

"Iya,"

"Terus baju Mama yang dua hari yang lalu baru Mama ambil dari butik mana? Mana buang?" Tanya Diano, lagi.

"Banyak tanya, ayo cepat. Ganti baju sana!" Suruh Artha ke Diano.

Laki-laki itu memutar bola matanya, dia dari dulu tidak pernah bisa menang berdebat dengan Mamanya.

Beberapa hari yang lalu, Artha memang baru saja membawa beberapa potong baju dari butiknya. Toh, miliknya siapa yang mau marah?

Terkadang Diano merasa jika wanita adalah makhluk paling membingungkan. Misal, pergi ke mall berjam-jam tapi yang di beli cuma sepatu sepasang dan sepotong baju. Sungguh tidak masuk di akal Diano, tapi itulah istimewanya seorang wanita terutama Mamanya.

Diano keluar dari kamarnya, celana jins dan kaos biru navy yang nampak sangat pas di badannya, flat shoes berwarna putih dengan gradasi warna hitam. Lengkap sudah penampilan Diano.

"Diano cepat!" Teriak Artha dari bawah.

"Iya!" Balas Diano.

"Kamu bawa mobil." Artha melempar kunci mobil ke anaknya itu, namun Diano tidak sempat menangkapnya hingga terjatuh.

"Refleks yang buruk." Ejek Artha. Terkadang Diano menganggap Mamanya bagai teman, tapi tetap masih ada batas. Meski Artha di umurnya yang sudah kepala tiga, Mamanya itu masih terlihat cantik dan segar, tapi Diano tau jika Mamanya sudah mengamuk jangan harap bisa melihat wajah cantiknya itu. Bahkan Papanya rela bersujud di kaki Mamanya hanya agar Mamanya tidak lagi mengamuk. Namanya juga cinta.

Diano memarkirkan mobil Mamanya itu diparkiran sedangkan Mamanya sudah masuk ke dalam butik.

Butik dengan nama Atray, atau Artha dan Ray. Hasil jerih payah Mama dan Papanya.

Butik yang sudah memilki banyak cabang di pulau jawa, sekarang sedang di kembangkan agar bisa sampai keluar pulau jawa.

Diano memasuki butik itu, satu tangannya di masukan ke dalam kantung celananya. Yang satu lagi memegang hape.

Bruk!

Hampir saja hape yang di pegang Diano jatuh, kalau dia tidak dengan cepat memegang hape nya erat mungkin hape itu sudah menyentuh lantai.

"Maaf, ya." Tanpa mendengar apa yang di katakan Diano gadis itu pergi begitu saja.

"Mama cari-cari ternyata masih di sini." Artha mendekat ke anaknya.

"Kita mau ngapain?" Tanya Diano, nampak malas.

"Mau ngambil baju, terus antar ke sanggar tari Bunda Noria." Diano mengangguk.

"Ini semua baju yang di pesan kemarin?" Tanya Artha pada anak buahnya yang membawa banyak potong baju.

"I-iya." Gadis itu nampak gugup, apalagi saat Mata Diano menatapnya. Gadis itu langsung salah tingkah. Diano tersenyum ke arah pegawai itu, senyum yang biasa di diberikannya pada setiap gadis yang akan di pacarinya.

Diano Dan AilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang