1

2K 113 7
                                    

"Kau menyakitinya lagi?" tanya Rea. 

Rea, dengan name tag dr. Habibie di dadanya ini adalah salah satu dokter bedah di Rumah Sakit DR Moeloek. Ia khusus menangani pasien kebal. Dan ini adalah tahun pertama ia bekerja. 

"Aw!"

"Hentikan, Blu," perintah Rea. Ia tahu lelaki yang sedang ia jahit luka pahanya ini tidak mampu merasakan sakit.

Paha Blu memperlihatkan bekas tusukan baru yang lumayan lebar dan dalam. Darah belum berhenti mengalir perlahan dari tepi kulit yang tersayat itu. Sementara ekspresi Blu tidak menampakkan kengerian sama sekali. Dia tidak gila. Dia hanya tidak bisa merasakan sakit.

"Apa kamu benar-benar tidak tega melihat pasienmu mengeluh sakit?" Giliran Blu bertanya pada Rea yang sudah ia kenal sejak sama-sama berumur 12 itu.

Rea membiarkan pertanyaan Blu mengambang, mengisi ruang praktiknya. Ia tengah memotong plester seukuran luka yang selesai dia jahit.

"Dokter Habibie? Hello?" Blu berusaha membuyarkannya.

"Kau sudah tahu jawabannya, Blu. Tolong jawab pertanyaanku tadi." Rea tampak sedikit sebal. Ia kemudian melepas sarung tangan karet dan membuangnya ke dalam kotak pensteril lalu memanaskan benda itu hingga tak bersisa.

"Ehm." Blu turun dari ambin pasien sambil mengenakan celana. "Aku tidak bermaksud menyakitinya. Aku hanya memastikan apakah dia kebal atau―"

"Blu," potong Rea.

"Oke," katanya mengalah. "Aku hanya tak suka dia berpura-pura tidak kebal," ujar Blu. Ia duduk di kursi di depan meja Rea. "Aku hanya memukulnya sekali,"―ia tidak yakin―"di hidungnya agar dia berhenti mengeluh tentang apa yang dia alami. Tapi bocah itu tiba-tiba berubah menjadi seperti zombie di film-film fiksi yang pernah kita tonton dulu sambil menancapkan pisau itu di kakiku."

Rea diam, mendengarkan.

Blu melanjutkan, "Aku pikir dia dan aku berasal dari orangtua yang sama dan mestinya itu juga menjadikan dia sama kebal seperti aku. Cara dia merengek kesakitan terlihat begitu palsu, kau tahu?" Blu mendengus. "Tingkahnya jelas menghina kalian,"―saat mengatakan ini Blu agak memelankan tempo bicara dan intonasi suaranya―"orang normal. Dan juga menghina kami. Seolah-olah ini adalah akting menyakiti-disakiti yang ditayangkan di acara pembelajaran anak-anak pendidikan dasar."

"Blu," kata Rea, "dia mungkin memang kesakitan."

"Dia hanya pura-pura, Rea. Aku yang bersamanya sejak kecil. Aku yang menjaganya di sekolah dan universitas. Aku lebih tahu Green dibanding Ramu, Rea..."

Suara Blu melemah. Ia merasa emosinya tak terkontrol.

"Maaf." Blu menunduk, menghindari tatapan Rea. Ia terkejut karena tidak menyangka kondisi jiwanya akan selemah ini.

"Kurasa Green lebih membutuhkan terapi ini dibanding aku."

"Aku bukan dokter terapi, Blu. Dan kau tahu ini bukan terapi."

"Ya, aku tahu. Maksudku, dia tidak sakit di sini, di tempat yang aku pukul"―Blu menyentuh hidungnya―"tapi di sini," katanya menunjuk kepala.

Bunyi aneh berulang menginterupsi mereka.

Blu meraih smartphone 4 inci dari saku jaketnya lalu  menarik benda itu ke sisi hingga layarnya melebar 7 inci.

Layar smartphone-nya nyaris gelap tapi terlihat seseorang di sana.

"Siapa?" tanya dokter Habibie.

"Green," sahut Blu, menyebut nama adiknya.

***

THE RESISTANCE: SATU (WATTYS 2017 WINNER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang