Tiga : Angan Bintang Prabasa

11.9K 854 36
                                    

"Hey, sexy lady."

"Ahahahaha."

"Kurang mirip! Kurang mirip!"

Aku memperhatikan dengan bosan apa yang sedang Virgo, Nanda, dan Milan lakukan di depan kelas. Sampai-sampai membuat hampir seisi kelas terkocok perutnya padahal menurutku itu tidak lucu. Menari seperti koboi naik kuda.

"Begong aja. Nggak ikutan ribut kayak mereka?" tanya Bahari.

Aku yang duduk di bangku tengah kiri paling belakang, menoleh ke samping kanan. Teman sebangku yang suka menggambar ini, sibuk menggambar di atas agenda atau mungkin lebih benar disebut diari yang mirip buku sketsa.

"Gue masih punya imej buat dijaga." jawabku. Dan perasaan yang perlu dihentikan.

Aku memandangi seisi kelas setelah sedikit mencuri pandang pada apa yang digambar Bahari, atau lebih simple dipanggil Bari. Bari menggambar seorang laki-laki tengah berlutut dengan box cincin di hadapan seorang perempuan. Ck. Dia senasib denganku, ditinggal menikah oleh orang yang dicintai. Hanya saja bedanya ada seorang lagi yang dicintainya. Tapi dia juga ditinggal pergi keluar Indonesia di hari yang bersamaan. Efek maruk, mencintai dua orang sekaligus.

Yang duduk di depanku dan di depan Bari tidak kalah bernasib sama dengan kami. Salah satunya ditinggal mati teman kami dan satunya lagi di tinggal pergi setelah kena tikung oleh teman yang juga sekelas dengan kami.

Yang ngebanyol di depan kelas juga sama. Salah satunya sedang menjalani kisah cinta anti mainstream setelah melewati sebuah masalah. Satunya, Milan, tidak bisa move on dari bokep, dan satunya lagi, sedang berusaha move on dari friendzone.

Jika diperhatikan, kelas IPA 1 tapi tidak pantas disebut IPA 1––ributnya melebihi anak kelas IPS––ini rata-rata punya masalah dan rata-rata juga masalah cinta. Tapi yang lebih berat adalah aku.

Kenapa harus aku yang suka dengan Mentari, ah maksudnya Mm-Mama, dan harus tinggal bersama mereka? Apalagi harus membantunya mengurus Cahaya kalau ia dan Papa sedang sibuk. Hah. Aku benci nasibku!

Ah. Kenapa Papa tidak menyuruhku pergi saja seperti yang dilakukan Pak Herman pada anaknya yang lain? Iya, kamu benar. Pak Herman, ayah dari cewek aneh itu punya anak lain, kakak lain ibu dari cewek itu. Kenapa aku tahu? Waktu MOS aku tak sengaja mendengar percakapannya.

Tapi, aku rasa itu mustahil. Sejak kelas sepuluh sampai sekarang aku memohon-mohon untuk dibiarkan kos, hitung-hitung belajar hidup mandiri. Papa tidak akan mau melepasku diizinkan.

Hah. Menyebalkan.

Aku mengedarkan pandangan menyapu kelas. Rata-rata mereka masih tertawa melihat Virgo, Milan, dan Nanda masih sibuk dengan tarian 'Gangnam Style' yang sempat ngetren beberapa tahun silam.

Perhatianku lalu tertuju pada bangku paling kanan baris ke dua. Selina, cewek itu memalingkan wajah saat mataku tak sengaja bertemu dengan matanya yang menatapku terangan.

Aku menaikkan kedua alis padanya tanda bertanya 'kenapa' Dia berpaling menatap laptop silver miliknya sambil sesekali––sering––tertawa keras. Selalu seperti itu, sejak tadi pagi. Mungkin sudah terjadi sekitar lima sampai sepuluh kali. Bukannya aku ge-er tapi aku merasa dia memperhatikanku dan selalu mengalihkan pandangnya saat bertemu pandang denganku. Lalu secepat kilat melakukan kebiasaannya, ribut. Hah. Apalagi tatapannya itu seperti ngeri(?) atau mungkin tepatnya ... jijik(?)

Aku tatap dia lama. Dia melirik-lirikku masih dengan tatapan itu. Membuatku tak nyaman. Hah! Menyebalkan.

"Bari," panggilku, masih menatap Selina.

"Hmm?"

Aku menatap Bari. "Di hidung gue ada sisa upil, nggak?"

Bari mengangkat wajahnya, sekejap sebelah alisnya terangkat. "Nggak." Ujarnya, lalu kembali menggambar. "Kayak cewek aja nanya penampilan."

Hah. Aku mencibir. Lalu melirik Selina, yang tidak memandang atau curi-curi pandang padaku lagi. Sekarang, dia sibuk menatap layar laptop sambil bernyanyi––teriak lebih tepat––dan menggerakkan tangan serta kepala tak jelas. Baguslah dia tidak melakukannya lagi. Tapi awas saja dia melakukannya lagi!

Aku membawa beban tubuhku ke belakang, hingga kaki depan kursi tempatku duduk terangkat, penyangga punggung kursi­––tempatku bersender, bersender pada dinding, dan kaki belakang kursi menyangga beban tubuhku. Rasanya, nyaman. Apalagi aku melipat tangan di dada lalu memejamkan mata. Hah. Ini namanya surga dunia.

Kemarin, aku tidak bisa tidur semalaman gara-gara Cahaya sakit. Aku harus membantu Menta–– maksudku, Mm-Mama mengurus Cahaya yang terus merengek walau sudah minum obat. Sedang Papa sibuk mencari uang untuk membiayai kami. Lalu aku yang terjebak dan malah terlihat seperti ayahnya Cahaya.

Hah! Apa yang aku pikirkan? Tidak, tidak, tidak! Lebih baik aku ke alam mimpi daripada memikirkan tersiksanya aku mendengar suara Mentari yang bernyanyi riang memerintahku mengambil ini dan itu.

"AHAHAHAHAHAHA."

Aku tersentak. Kursiku oleng hingga membuatku menghantam meja. Hah. Siapa yang tertawa di atas ketenangan orang lain?!

Langsung saja mataku tertuju pada bangku paling kanan. Rupanya disana sedang tertawa masal. Bisa ditebak. Itu Selina dan Libra yang sedang tertawa menatap laptop bersama Jessy, dan Virgo.

Aku menghela napas lelah sembari mengulik telingaku yang berdengung dan menyisir keadaan kelas. Semua sudah normal tapi hanya bangku kanan yang masih menikmati gila. Bari juga masih sibuk menggambar.

Aku menumpu dua siku di atas meja dan menganyam jemari, lalu menumpu dagu di sana. Aku melirik Bari. "Tadi ada guru, ya?"

"Ada, Guru Matematika. cuma nengok di pintu dan bilang jangan ribut keras-keras lalu balik lagi ke kelas sebelah."

Aku mengangguk-angguk. Lalu menatap ke barisan bangku paling kanan dan lagi-lagi mataku bertemu pandang dengan Selina. Lagi-lagi, aku mengangkat kedua alisku dan memandangnya. Lagi-lagi pula, dia mengalihkan pandangnya dan berlanjut tertawa terbahak-bahak bersama ketiga soulmate-nya itu. Dia kenapa, hah?!

Aku akhirnya menatapnya terus-terusan. Sesekali aku lihat dia melirikku dan sesekalinya lagi ikut terbahak menatap layar laptonya. Dari empat orang yang tertawa terbahak-bahak, sudah jelas, yang paling keras adalah tawa Selina. Begitu kerasnya sampai membuat kelas bergetar dan yang lainnya hanya bisa maklum. Selina Ayumi memang begitu kelakukannya, kekanakan dan alay.

Walau begitu ... aku sedikit iri padanya. Dia begitu bebas dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya. Sepertinya, hidupnya lurus-lurus saja. Dia terlihat ringan dan tidak memiliki beban apapun dalam hidupnya. Atau masalah yang enggan dekat-dekat dengannya? Tapi apapun itu, itu keberuntungan tak terkira.

Andai hidupku adalah hidup Selina, pasti aku tidak akan semenderita ini karena takdirku yang paling buruk diantara yang lainnya.


Behind The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang