PROLOG

1.7K 241 17
                                    

Irene Maria Sanjaya kembali menghela napas panjang, melepaskan kacamata tebalnya lalu mengurut keningnya frustrasi. Wanita yang berusia dua puluh tujuh tahun itu benar-benar berada dalam ujian kesabaran. Bukan kesabaran ketika menghadapi klien-klien perusahaannya, melainkan adik sendiri.

"Tidak, Alex!" Irene menaikkan satu oktaf intonasi suaranya. Keningnya menyatu, kini tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. "Natalia tidak akan tinggal bersama Nenek."

"Tapi, Talia sedang hamil, Kak. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian."

"Bukankah di rumahmu ada beberapa asisten rumah tangga?" tanya Irene setengah menghardik lalu melanjutkan omelan panjang mengenai sifat buruk istri adiknya yang semena-mena. "Aku mengetahuinya karena istrimu yang bak ratu itu tidak akan pernah repot-repot mengambilkan piring makan untukmu."

Hening.

Tak lama kemudian terdengar helaan napas panjang di ujung telepon. "Kalau begitu Talia tinggal bersama Kakak saja." --klik.

Tanpa basa-basi, Alexander menutup percakapan telepon secara sepihak.
Irene menghirup napas dalam, memasukkan oksigen untuk memenuhi seluruh rongga paru-parunya.

Seiring dengan peredaran oksigen yang mengikat hemoglobin dalam darah, Irene menyandarkan tubuh lelahnya ke kursi penumpang. Matanya yang sayu menatap jauh pemandangan jalanan yang penuh.

Hiruk pikuk lalu lintas menjelang makan malam memang selalu ramai. Mobil dan motor itu memenuhi jalanan. Berlomba-lomba mencari celah dalam jalanan yang padat.

Kemacetan itu pun berakhir ketika mobil hitamnya memasuki jalan tol. Namun, Irene masih belum bisa menghirup napas lega untuk mengakhiri harinya yang penat.

Tuhan kembali memberinya ujian kesabaran.

"Ada apa?" tanya Irene malas ketika layar ponselnya tertera nama adik bungsunya.

"Ih, Kakak. Lagi PMS, ya?" tanya gadis di seberang telepon sambil menuduh lalu terkikik dengan cara menyebalkan. "Kok jutek banget!"

"Tidak usah basa-basi, Dys. Ada masalah apa lagi kali ini?" tanya Irene tanpa tedeng aling-aling untuk mempersingkat basa-basi gadis paling manja di keluarganya.

Terdengar cengiran khas Gladys ketika Irene melayangkan pertanyaan penyebab gadis itu menghubunginya. Irene bisa membayangkan bagaimana wajah tanpa dosa adiknya yang tengah tertawa.

Tiba-tiba, gadis di ujung telepon itu berdehem. Memaksa Irene memasang tanda bahaya.

Sepertinya dia akan memberiku masalah pelik, Irene membatin dan sudah mewanti-wanti agar bersiap menerima segala permasalahan mahasiswi arsitektur.

"Kakak besok temuin calon aku ya?"

"Calon?" tanya Irene membeo.

Namun, detik berikutnya Irene langsung mengernyit alis tidak suka. Berpikir jika gadis yang masih berumur dua puluh tahun itu ingin menikah adalah mimpi buruk.

"Iya, Kak Irene yang cantik nan baik hati. Ca-lon su-a-mi." Bahkan, Gladys sengaja mengejanya. "Jadi, besok, rencananya Tristan dan keluarganya ingin menemui Kak Irene."

"Gladys Naomi Sanjaya, aku tahu kalau kau seorang pembuat onar. Namun, kali ini bercandamu sudah melewati batas."

"Aku nggak bercanda, Kak!" Gladys menjawabnya dengan santai.

Irene kembali mengernyitkan alis karena teringat selain memiliki sifat seenak jidat dan tukang pembuat onar. Gladys adalah seorang yang keras kepala.

"Aku ingin menikah dengan Tristan karena--"

"KAU HAMIL?!" teriak Irene memotong pembicaraan sebelum terdengar bunyi rem berdecit diikuti benturan keras ke pembatas jalan.

Kepala Irene pun membentur kursi di depannya. Cukup keras hingga secara perlahan pandangannya mengabur dan hanya kegelapan yang menyambut.

***

"Sayang, kamu harus bertahan!"

Kalimat bernada perintah dari seorang pria kembali menggema. Berulang kali. Berkali-kali. Hingga kalimat itu terdengar seperti sebuah ancaman. Namun, entah kenapa ancaman itu sama sekali tidak mengusik Irene. Malah terdengar seperti sebuah mantra. Menyemangatinya dengan cara menyebalkan.

Dengan sedikit kesadaran yang masih bertahan, Irene bisa merasakan jika kini dia tengah diangkut ke dalam ranjang pasien memasuki lorong rumah sakit. Bergerak dengan cepat dan efisien. Diiringi beberapa suara yang tampak memantau keadaan vital.

"Kamu harus bertahan!"

Kembali kalimat itu menyita seluruh kesadaran Irene yang kian menipis. Semakin lama semakin menghilang. Seperti api yang menggerogoti kayu. Suara pria itu terdengar familier di telinganya. Namun, Irene tidak dapat menemukan jawaban. Kepalanya berdenyut-denyut, serasa ingin pecah. Irene tidak bisa berpikir jernih.

"Sayang, kamu harus bertahan!"

Di tengah kesadaran yang kian menipis, entah kenapa Irene dapat mengingat nama pemilik suara familier tersebut. Seorang laki-laki yang dikenalnya sejak dulu tetapi menghilang tanpa jejak. Pria menyebalkan yang mengambil ciuman pertamanya saat SMA.

Pria itu...

...Sebastian El Yahya.

***

⚠️ 15 Bulan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang