29 - Sihir Cinta

1.5M 85.6K 19.3K
                                    

Seorang gadis terduduk di ujung halte dengan kepala terbenam diantara kedua kakinya, kedua tanganya meringkuk memeluk tubuhnya yang kedinginan. Derasnya hujan telah membasahi sekujur badanya.

Sebuah motor berhenti tepat dihadapanya. Seorang pria buru-buru turun dari sana, membuka tas-nya dan mengambil sebuah jaket didalam.

Iqbal berjalan mendekati Acha, kedua matanya menyorot tenang namun dalam.

"Bangun" perintah Iqbal.

Acha mengangkat kepalanya, menengadahkan keatas. Ia tersenyum melihat Iqbal, pria yang sangat ia tunggu sedari tadi. Walaupun dalam hati, Acha takut. Iqbal pasti marah denganya.

Acha segera bangun, kakinya terasa lemas. Entah sudah berapa km ia berjalan sedari tadi. Acha diam saja, tak berani membuka suara sedikitpun.

"Pakai ini" suruh Iqbal lagi.

Acha mangangguk menurut, ia meneriama jaket yang diberikan Iqbal dan segera memakainya.

Kepala Acha tertunduk, perasaanya kacau dan bercampur aduk. Hari ini terasa sangat berat baginya. Acha menarik resleting jaket sampai ke atas menutupi leher jenjangnya. Setidaknya ia merasa sedikit hangat.

"Kita tunggu hujan sedikit reda" ucap Iqbal dingin.

Sekali lagi Acha hanya mengangguk. Bibirnya tertutup rapat dengan kepala menatap ke bawah. Acha tidak berani melawan Iqbal bahkan menatap pria itu lama-lama, Acha sama sekali tidak memiliki nyali.

Tak ada suara lagi yang terdengar, baik Acha maupun Iqbal sama-sama terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, hanya suara guyuran air hujan yang semakin terdengar keras.

Malam kelabu yang dingin.

"Cha..." panggil Iqbal pelan.

Acha mengigit bibirnya, berpikir sebentar untuk membalas panggilan itu atau tidak.

"I...Iya?" balas Acha. Kekauatan bibirnya lebih kuat daripada menuruti hatinya.

"Masih ingat caranya tersenyum kan?"

Acha sedikit terkejut dengan pertanyaan Iqbal. Namun, detik berikutnya kepalanya mengangguk beberapa kali. Kedua tanganya terkepal menahan rasa yang terus bergejolak di dadanya. Entah, Acha sendiri tak bisa menjabarkanya. Yang pasti terlalu banyak kepedihan disana.

"Tersenyum buat gue" pinta Iqbal, kepalanya bergerak 90 derajat ke arah Acha. Iqbal menatap gadis yang disampingnya.

Kedua mata Acha memanas, sampai akhirnya linangan air mata keluar dan membentuk aliran kecil di kedua pipinya. Acha menangis.

"Nggak bisa ya?" tanya Iqbal

Acha menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Ia berupaya lebih kuat mengigit bibir bawahnya, menahan isakan yang ingin menerobos keluar dari bibirnya.

"Kalau gue yang tersenyum, lo mau berhenti menangis?"

Tangis Acha malah membeludak, ia tak bisa menahan dan semuanya keluar begitu saja. Ia terisak dengan air mata yang semakin deras. Kepedihan, rasa sakit, kebahagiaan kecil bercampur aduk menjadi satu di dalam hatinya saat ini.

Iqbal tentu saja terkejut bukan main melihat Acha yang menangis seperti itu. Ia binggung harus berbuat apa. Iqbal menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, apa yang harus ia lakukan?

Iqbal pun hanya diam, memandangi dan menunggu Acha menangis. Ia membiarkan saja gadis itu mengeluarkan kepedihan yang tertahan. Mungkin dengan itu, Acha akan sedikit legah.

MARIPOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang