20. luka baru

13.4K 749 17
                                    

Dua minggu kemudian …

"Nanti di sekolah jangan lupa makan. Jangan telat, Ayah gak mau kamu telat makan." Husein menasehati, Afifah mengangguk-angguk.

"Denger ayah, gak?"

"Iya ayahku sayang. Afifah makan kok. Dua piring."

"Awas bohong."

Afifah mengacungkan jempolnya pada sang Ayah. Husein hanya khawatir pada putrinya itu, ia takut Afifah melakukan hal gegabah.

Afifah masih sibuk membereskan buku-bukunya untuk berangkat mengajar pagi ini. Ia terlihat sangat bersemangat. Faiz belum sadar dari komanya, ia hanya tak ingin terlihat lemah saja di depan semua orang.  Ia ingin menjadi sosok yang tegar seperti ibunya, memang takkan mudah, tapi ia akan berusaha karena ia punya Allah untuk di percaya.

"Assalamualaikum …."

Suara ketukan pintu membuat ayah dan anak itu menoleh. Afifah buru-buru menuju pintu depan untuk melihat siapa gerangan yang datang ke rumahnya sepagi ini.

"Eh, Om. Tante." Afifah tersenyum ramah melihat dua orang yang berdiri di depan pintu rumahnya.

Afifah lantas membuka pintu rumahnya lebar mempersilakan masuk orang tua Faiz, jantung Afifah berpacu cepat. Ada gerangan apa orang tua Faiz bertandang kerumahnya sepagi ini. Husein yang melihat siapa yang datang ikut tersenyum ramah. Ia berjabat tangan dengan mereka beberapa saat kemudian mempersilakan keduanya untuk masuk.

"Silaka duduk, Pak. Bu." Husein mempersilakan tamunya untuk duduk di sofa ruang tamu mereka, sedangkan Afifah berlalu ke dapur untuk membuat minuman.

"Tumben bertamu sepagi ini." Husein membuka obrolan.

"Iya, ada hal penting yang harus kita bicarakan kalau bapak tidak keberatan," kata Nora ramah.

Husein mengangguk kemudian memanggil putrinya, "Afifah kemari dulu, Nak."

Afifah yang baru keluar dari dapur dengan dua cangkir teh di atas nampan serta setoples kudapan langsung menatap heran. Ia meletakkan cangkir itu di atas meja kemudian duduk di sebelah Ayahnya. Merasa ada yang tidak beres.

Setelah berpikir matang-matang, kedua orang tua Faiz tersenyum kemudian. "Kami ingin mengatakan sesuatu, Afifah. Terkait lamaran Faiz untukmu."

Jantung Afifah berdetak hebat beberapa saat. Tumben sekali, ada apa? Apa karena ingin mengajukan lamaran langsung tanpa Faiz? Afifah tetap berusaha tenang menunggu kalimat selanjutnya meluncur dari lisan Nora.

"Kami ingin membatalkan lamaran Faiz untkmu, nak …."

PLETAR.

Ibarat mendengar petir di siang bolong. Husein dan Afifah saling pandang beberapa saat, tak mengerti kemana arah pembicaraan mereka. Ia berharap ibunya Faiz hanya salah berkata atau Afifah sendiri yang salah dengar. Namun ternyata ….

"Kami minta maaf sebanyak-banyaknya, kami juga tak menginginkan ini terjadi. Namun Faiz yang meminta kami membatalkannya," Juan -Ayah Faiz- merasa bersalah juga. Masalahnya Afifah adalah calon menantu yang baik. Mereka pun tak bisa apa-apa jika Faiz yang memintanya.

"Maksud Om apa? Kenapa begini?!" mata Afifah mulai merasa panas. Kaca-kaca bening itu terlihat di kedua matanya, ingin sekali dia menyadarkan dirinya bahwa ini hanyalah mimpi.

Juan tak berkata apa-apa. Ia hanya mengeluarkan sebuah surat dari kantong bajunya, menyerahkan itu pada Afifah dan diterimanya dengan tangan bergetar.

Afifah membuka surat itu perlahan. Pertahanannya kembali runtuh.

Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang