38. Generasi impian

12.3K 782 14
                                    

****

"Haaahhh, panas sekali!"

Afifah membanting tubuhnya ke atas kasur di sebelah Ayash. Ayash yang melihat istrinya memejamkan mata dengan napas naik turun hanya terkekeh lalu mengusap kepalanya lembut. mencoba mengusir rasa lelah yang mendera.

"Capek?" Tanya Ayash, Afifah mengangguk.

Ayash sudah agak membaik setelah menghabiskan tiga botol infusan di rumah sakit. Ia sudah diperbolehkan pulang, tetapi sebelum keluar dari sana mereka harus diceramahi Dokter Rafiq dahulu.

"Huek ...."

Bukan, itu bukan suara Ayash yang kembali muntah. Itu suara Afifah. Gadis itu menutup mulutnya begitu merasakan sesuatu yang tak mengenakkan tengah melanda perutnya. Ia bangkit dari atas kasur dan berlari menuju toilet. Melihat istrinya muntah-muntah, Ayash memaksakan bangun dan ikut ke kamar mandi, meskipun rasa pusing menjetak kepalanya. Ia ingin melihat keadaan istrinya.

"Fa, kamu baik-baik saja?"

Afi menggeleng. Ia masih sibuk membungkuk di depan kloset, memuntahkan apa saja yang sejak tadi siang masuk ke dalam perutnya. Ayash memijit tengkuk istrinya berharap rasa mual itu cepat hilang. Bukannya hilang, justru Afi memuntahkan semuanya lebih banyak.

"Sudah?" Tanya Ayash, ia khawatir dengan keadaan istrinya, wajah Afifah sangat pucat.

"Ayo istirahat. Aku buatin minuman dulu." Ayash menuntun istrinya keluar dari toilet menuju ranjang dan merebahkan istrinya di sana.

Sementara Ayash ke dapur untuk membuat minuman. Afifah kembali merasa mual. Perutnya seakan tengah di aduk-aduk dari dalam, ia kembali melepas selimutnya dan berlari ke kamar mandi memuntahkan isi perutnya.

Tak berapa lama Ayash kembali ke dalam kamar dan tak melihat sosok istrinya, samar-samar ia mendengar suara air menetes dari toilet. Ayash lalu melangkah untuk menyusul istrinya.

"Astagfirullah, Faa!!"

***

"Bagaimana keadaan istri saya, Bu?"

Tanya Ayash pada seorang wanita berjilbab putih yang merupakan dokter senior di Rumah sakit tempatnya bekerja. Ayash cemas beberapa saat tadi ketika melihat istrinya terkulai tak berdaya di lantai kamar mandi. Ayash takut terjadi hal serius pada istrinya.

"Dia tidak apa-apa. Hanya kelelahan, istrimu terlalu banyak menguras tenaga, ya?" Tanya dokter yang akrab di sapa Bu Rahmi oleh Ayash. Perasaan ayash jadi tak enak, selama ini dirinya sudah banyak merepotkan Afifah.

"Iya, Bu. Tapi, tidak ada hal yang serius 'kan dengan istri saya?"

Dokter Rahmi tersenyum, "Insya Allah, Istrimu tidak apa-apa, hanya butuh istirahat total."

Syukurlah...

"Bayinya juga baik-baik saja."

Untuk penjelasan dokter yang satu ini Ayash melebarkan kelopak matanya secara refleks. Apa tadi katanya? Bayi? Berarti Afi sedang ....

"Hamil. Usia kehamilannya baru tiga minggu. Selamat ya, Ayash."

Ayash tak sanggup berkata apa-apa. Bibirnya mendadak sulit berkata, matanya mengerjap bodoh. Jika saja sore ini ada petir di luar sana Ayash ingin sekali berlari ke luar untuk mengecek pendengarannya apa masih berfungsi atau tidak.

Ayash! Masa responmu begitu pas tahu istri hamil, sih?

"S-serius, Bu?" Ayash masih belum percaya dengan kalimat sang dokter, matanya berbinar berharap ini bukan mimpi.

"Bohong! Ha ... ha, ya serius atuh, Yash. Kamu akan jadi Ayah."

Afi yang mendengar itu juga ikut tertegun, ia menatap Ayash dengan pandangan yang sulit di artikan. Perlahan, tangannya mengelus permukaan perutnya yang masih datar. Ada kehidupan di dalam sana.

"Kok kamu gak tau sih, Fa?" Tanya Ayash memeluk istrinya. Tidak peduli sepasang mata dokter memperhatikan mereka.

"Mungkin siklus haidnya yang bikin Ibu Afifah belum tahu bahwa ada janin yang tumbuh, wajar kok, Yash," kata dokter Rahmi, "saya kasih vitamin kalau begitu."

Ayash tersenyum, Afifah ikut tersenyum. Benih yang di tanam Ayash dalam rahim istrinya akhirnya tumbuh, menjadikannya generasi impian. Tidak sia-sia mereka ikhtiar dan berdoa setiap hari, setiap kali, berpasrah pada-Nya memang tak pernah mengecewakan.

Memang hanya Allah yang selalu punya rencana terbaik.

***

"Kata Bu Dokter kamu gak boleh terlalu kecapekan, Fa, inget. Kamu sekarang kan lagi berbadan dua."

"Baru tiga minggu, A. Kamu juga masih sakit. Ngerawat kamu pekerjaan aku, gak mungkin juga aku harus titipin kamu ke Ummi, kan? Ntar kamu rewel."

Ayash mencebik, "emang aku bayi?"

"Iya, Bayi besar." Afi tertawa-tawa.

"Dasar, sini kamu, ya!"

Ayash berguling lalu menangkap tubuh istrinya. Mencium wajah istrinya bertubi-tubi. Menyalurkan semua rasa kasih sayang lewat perlakuan manis itu meski terkesan sangat berlebihan.

"Hentikan, mas!" Afi meronta. Ia mendorong tubuh Ayash agar menyingkir darinya, namun sayang, tubuh Ayash lebih kuat dari dirinya, meskipun Ayash tengah sakit.

"Jagain ya, ini titipan Allah," kata Ayash, tersenyum sembari mencium pucuk kepala istrinya, mentransfer setiap rasa cinta untuk seorang pendamping hidup yang di titipkan Allah padanya dan dengan hadirnya satu nyawa lagi dalam rahim Afifah. Ia berharap akan mampu laksana kedua tali yang saling menguatkan.

Karena sejatinya. Pernikahan adalah suatu keputusan besar dalam hidup, menjalaninya tentu harus dengan pasangan tepat. Bukan hanya sekedar bahagia menjadi tujuan, melainkan keberkahan dari Allah subhanahu wata'alla.

"Aku jagain, insya Allah."

***

Ekhemm -____-

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang