Ketika Sadar

71 7 0
                                    

Ketika sadar, hal pertama yang Mairin lihat adalah wajah mamanya yang cemas. Mairin baru saja hendak membuka suara, bertanya mengapa mamanya yang tinggal di Jogja ada di hadapannya. Mendadak rasa sakit menyerbu seluruh tubuhnya dengan pusat sakit ada di kepalanya. Rasanya seperti baru saja ditabrak truk. Ia menyentuh kepalanya dan menemukan kepalanya terbalut perban.

"Jangan bergerak dulu," kata mamanya.

"Aku..." desis Mairin. "Di mana?"

"Di rumah sakit. Sekuriti hotel menemukan kamu pingsan di depan pintu belakang restoran. Mereka membawa kamu kemari."

Perlahan-lahan semua yang kabur kembali utuh dalam ingatan Mairin. Ia pulang bersama Bara. HP-nya ketinggalan dan akhirnya.... Tuhan, itu bukan mimpi buruk. Itu benar- benar terjadi.

Bara masuk ke dalam ruangan, berdiri di belakang mama Mairin. Meski terlihat lega, masih ada kecemasan yang tersisa di wajahnya. Dan juga, perasaan bersalah.

"Bagaimana restoran?" tanya Mairin pada Bara.

"Komputerku hilang. Begitu juga brankas kita dan beberapa peralatan elektronik. Tetapi peralatan berat di dapur selamat. Mereka belum sempat mengangkatnya. Aku sudah lapor pada polisi. Kamu seharusnya nggak bertindak seceroboh itu, Mairin."

"Ceroboh?" ulang Mairin. Ia tidak percaya dalam kondisi seperti ini, Bara masih memarahinya.

"Aku mencoba melindungi restoran kita! Mereka itu sudah hampir kabur! Aku nggak punya waktu buat telepon sekuriti atau kamu!"

"Tapi, kalau kamu nggak mencoba melawan, kamu nggak akan masuk rumah sakit! Kamu itu chef. Barang bisa diganti, tapi kamu enggak!"

Mairin terhenyak mendengar ucapan Bara.

"Beruntung kamu masih hidup," tambah Bara. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu...." Nada Bara terdengar gemetar. "Aku seharusnya melindungi kamu."

Mama menepuk pundak Bara yang tertunduk. Mairin merasa tidak enak. Meski hanya sepupu, Bara selalu melindungi Mairin sejak mereka kecil. Di satu sisi hal itu membuatnya senang. Di sisi yang lain, itu membuatnya seakan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Bara. Mungkin itu yang membuatnya nekad. Bahwa ia bisa mengatasi masalah tanpa Bara. Hanya saja, sepertinya ia salah.

"Maaf," kata Mairin, akhirnya.

"Sudahlah. Yang penting Mairin selamat," Mama menengahi." Lihat, Mama belikan apel kesukaan kamu."

"Dari Jogja?"

"Kamu pikir Mama sempat memikirkan oleh-oleh begitu Bara telepon kamu masuk rumah sakit?"

Mairin nyengir. Mama meletakkan sekeranjang buah ke meja di samping tempat tidur Mairin. Melihat deretan buah segar itu, tiba-tiba saja rasa laparnya tak terbendung. Gadis itu meraih apel terdekat yang bisa ia raih.

Pada awalnya, Mairin hanya merasa sedikit aneh. Apel itu sama sekali tidak memiliki rasa di lidahnya. Tidak ada rasa manis, hanya tekstur lembut apel tanpa rasa tanpa bau.

Namun Mairin mengabaikannya. Ia hanya ingin makan.

Saat Mairin hendak mengambil apel berikutnya, tanpa sengaja, satu buah menggelinding keluar dari wadahnya.

Secara otomatis, Bara menunduk untuk menangkap apel tersebut. Pada saat yang sama, wajah Mairin menoleh dan menabrak pundak Bara.

Dengan jarak sedekat ini, Mairin biasanya mampu mencium parfum Dolce & Gabbana pour homme yang biasa dikenakan Bara. Mairin hafal baunya. Bara senang menggunakan parfum clean, yang tercipta dari aroma kelembutan lavender berpadu dengan nuansa spicy dari sage dan merica, ditopang dengan dasar aroma kayu-kayuan. Parfum itu membuat Bara terkesan klasik sekaligus elegan. Namun anehnya, kali ini ia tidak dapat menciumnya.

Mairin mendongak, memandang Bara.

"Bara, hari ini kamu tidak pakai parfum?"

"Aku pakai parfum seperti biasa. Memangnya kenapa?"

Mairin baru saja hendak membuka mulut ketika mendadak ponsel Bara berdering. Bara menatap layar ponselnya.

"Aku harus angkat ini," kata Bara sembari berjalan keluar ruangan.

Mama juga bangkit dari tempat duduknya. "Mama ke toilet dulu ya, Sayang."

Apakah ini wajar? pikir Mairin. Begitu mamanya keluar ruangan, Mairin mencoba mengendus. Ia menciumi lengan bajunya sendiri, tirai pembatas tempat tidur, semua buah yang ada di samping tempat tidur. Di bawah tempat tidur, Mairin menemukan tasnya. Gadis itu mengaduk isinya dan menemukan body mist beraroma laut dan lemon yang biasa dibawanya ke mana-mana. Tidak ada bau seberapa pun banyaknya ia menyemprotkan body mist itu ke udara.

Mengapa tidak ada bau yang tercium?

"Ada apa, Mairin?" tanya Bara setelah kembali. Ia heran melihat wajah pucat Mairin.

"Tidak ada apa-apa," Mairin berusaha bersikap normal. Ia memasukkan botolnya ke dalam tas.

"Ta-tadi itu siapa?"

"Polisi. Mereka menemukan mobil curian yang dipakai untuk merampok restoran kita ditinggal di pinggir jalan. Kosong. Polisi akan terus berusaha, tetapi tidak ada jaminan mereka akan tertangkap."

Mairin mengangguk pelan dan meremas seprai tempat tidurnya. "Kamu benar, seharusnya aku nggak sok-sokan jadi jagoan."

Bara menepuk pundak Mairin, pelan. "Sudah kejadian. Nggak ada gunanya disesali. Yang penting kamu cepat sehat dan cepat kembali ke dapur."

"Dan barang-barang kita?" tanya Mairin.

"Aku akan lapor ke asuransi. Atau mungkin cari tambahan modal. Yang penting restoran kita kembali jalan."

"Bara..."

"Apa?"

Saat itu, rasanya Mairin ingin memberi tahu Bara. Tetapi, ada sesuatu di dalam dirinya yang melarang. Jangan. Setidaknya jangan sekarang. Ia tidak tahu persis apa yang terjadi. Mungkin ini hanya sesaat saja. Mungkin ia hanya perlu istirahat saja.

Mungkin.

"Tidak. Tidak ada apa-apa."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mermaid FountainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang