Seni adalah Darah 3

820 24 27
                                    

Peringatan:
Mengandung adegan sadis dan banyak darah. Anak kecil dilarang baca, kecuali tetap ngeyel buat baca. Jika tidak kuat, lambaikan tangan ke author-nya. Niscaya author-nya akan datang ke tempat anda dan memberi hadiah sate daging. Jangan tanya daging apa :v

Happy reading! ^^

****

Sinka berjalan menyusuri lorong panjang di dalam rumah megahnya. Di kiri dan kanan lorong tersebut, terdapat berbagai macam lukisan yang tentu saja buatannya sendiri. Dia terus berjalan, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat.

Dibukanya pintu itu lebar-lebar. Nuansa gelap dan hawa sangat dingin menyeruak dari balik pintu itu. Sinka masuk ke dalamnya. Sebuah tangga menurun menyambutnya. Sinka berjalan menuruni tangga dengan nuansa gelap di sekitar ruangan itu. Hingga dia sampai pada sebuah ruangan kecil, seperti ruangan penjara. Di dalamnya ada seorang pria duduk bersandar dengan tangan dan kaki terikat rantai.

"Selamat malam, Komandan Adi," sapa Sinka pada pria tersebut.

"Siapa kau? Kenapa aku ditempatkan di tempat seperti ini?!" tanya Adi kesal.

"Aku? Aku hanyalah seniman yang haus akan karya. Lagipula kau memang pantas berada disitu."

"Seniman?" Adi terheran-heran.

Sinka mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kunci. Kemudian, dia memakai kuncinya untuk membuka pintu ruangan itu. Pintu terbuka, Sinka masuk ke dalamnya. Dia memperhatikan wajah Adi yang masih duduk terikat rantai. Tiba-tiba Sinka memukul wajah komandan polisi itu hingga hidungnya berdarah.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Orang yang membiarkan kakakku terbunuh, lebih baik mati," ucap Sinka dengan tatapan yang begitu menusuk.

"A..apa maksudmu, wanita sialan?!" bentak Adi sembari menggerakan tangan dan kakinya supaya rantai yang mengikatnya terlepas.

Tiba-tiba Sinka menjambak rambut Adi dengan sekuat tenaga. Kemudian, dia menariknya dan mulai menyeret tubuh polisi tersebut keluar dari ruang penjara.

"Hei!! Kau mau bawa aku kemana, hah?!" Adi memberontak, berusaha melepaskan diri jambakan Sinka yang begitu kuat.

"Tak usah banyak bicara!" bentak Sinka sambil terus menyeret tubuh Adi.

"Lepaskan aku, bajingan!"

BUAGH! BUAGH! BUAGH!

Sinka tiba-tiba memukul kepala Adi sebanyak tiga kali. Hal itu membuatnya langsung tak sadarkan diri.

Sinka terus menyeret tubuh polisi itu keluar dari ruangan gelap tersebut. Dia menyusuri seisi rumahnya yang megah, hingga akhirnya dia sampai di ruangan yang begitu luas. Di dalam ruangan itu terdapat berbagai macam peralatan, seperti pisau, golok, kapak, clurit, hingga gergaji mesin. Di tengah ruangan itu, tergantung sebuah rantai. Lalu di bawahnya terdapat baskom yang lumayan besar.

Sinka menyeret tubuh Adi yang masih tak sadarkan diri ke dekat baskom itu. Kemudian, dia membuka rantai yang mengikat tangan dan kakinya. Rantai pun terlepas, kini hanya menyisakan tubuhnya yang dibalut pakaian ala narapidana.

Tak berselang lama, seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Sinka menoleh ke arah orang itu. Didapatinya Devi yang sedang berjalan ke arahnya sambil membawa teko berisi air panas.

"Hai, Kak Sinka," sapa Devi sambil menaruh tekonya di lantai.

"Hai, Devi," balas Sinka.

"Kakak mau memulainya sekarang?"

"Iya, bantu aku ya."

Devi mengangguk.

Kemudian, Sinka membuka seluruh pakaian yang dipakai Adi hingga telanjang bulat. Setelah itu, Sinka dan Devi memapah tubuh polisi itu mendekati rantai yang tergantung di langit-langit. Leher polisi tak berdaya itu dililitkan rantai dengan kuat. Kini tubuh polisi tak berdaya itu sudah tergantung.

Psycho Detected (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang