Kalian saling berhadapan sekarang, mata kalian saling menatap tanpa suara. Matamu menjelajahi lekuk rupa wajah tampan pemuda yang tepat berada di depan matamu itu, dan menangkap ada guratan-guratan kecil di keningnya dalam setiap seperdekian detik.

Sepertinya, rasa sakit yang di rasa Jimin hilang dan timbul, dan setiap kali rasa sakit itu menyerangnya, dia menahannya dan hanya menyisahkan kerutan dalam di keningnya.

Kau menyentuhkan jemarimu ke pipi Jimin, dan mengusapnya lembut.

"Jim?"

"Hm?"

"Ayo kita ke dokter."

"Hah? Tidak perlu, sebentar lagi pasti sembuh." Tolak Jimin.

"Tidak bisa, aku tau kau pasti sangat kesakitan. Tidak apa-apa, ada klinik di dalam gedung apartemen ini, kita bisa kesana."

"Tidak perlu repot-repot!"Tolak Jimin masih keras kepala.

"Tidak ada yang di repotkan disini, aku akan melakukannya kepada siapapun yang membutuhkan bantuan, dan kau sekarang yang sedang membutuhkan bantuan."

Kau turun lebih dulu dari kasur, dan merapikan bajumu bersiap untuk mengantarkan Jimin ke klinik.

"Tapi aku tidak membawa uang lebih." Sepertinya Jimin malu mengakuinya. Karena saat bangkit wajahnya tertunduk.

"Tidak apa-apa, aku akan membayarnya."

***

Tak perlu menunggu lama, karena klinik lagi sepi, Jimin jadi cepat di layani. Setelah di periksa, tibalah kau dan Jimin menerima obat yang akan di resepkan kepada Jimin.

Kalian berdua, duduk berdampingan di depan seorang dokter pria paruh bayah berwajah ramah itu.

"Ini obatnya, minumlah sesuai resep, dan tolong hindari makanan asam dulu."

Dalam hatimu kau jadi merasa bersalah karena sebelumnya sudah memberikan Jimin minuman lime tea tadi.

Jimin tau kau merasa bersalah, jadi dia yang mengambil alih pembicaraanmu dan dokter itu.

"Terima kasih dok."

***

Kau mendudukan Jimin di kasur lagi lalu bergegas ke dapur untuk mengambilkan air putih untuk Jimin.

"Minumlah obatnya, kita sudah makan tadi, jadi tidak perlu makan lagi kan?" Kau meletakkan gelas di nakas dan mengeluarkan beberapa butir obat dari bungkusnya dan menyodorkan kearah Jimin.

"Terimah kasih." Ucap Jimin penuh rasa sukur sambil meletakkan gelas air putih tersebut ke nakas.

"Tsk, tidak perlu." Selanjutnya kau membantu Jimin untuk berbaring kembali.

"Istirahatlah dulu, tunggu obatnya bekerja, lalu kau bisa pulang jika memang ingin."

Jimin mengangguk dan berbaring. Sementara kau tetap duduk di sampingnya.

"Ada apa?" Kau mengelus rambut Jimin.

Tanpa diduga, air mata jatuh dari ujung mata pemuda di depanmu itu. Terang saja kau kaget. Kau tidak mengerti mengapa Jimin tiba-tiba menangis.

"Ada apa? Apa sakitnya makin parah?" Tanyamu panik.

Jimin memegang tanganmu yang berada di pipinya.

"Kau orang yang baik."

Ungkapan Jimin membuatmu salah tingkah, kau tak menyangka Jimin akan mengatakan hal seperti itu.

"Aku jahat! Kau tau kan? Aku selalu semena-mena terhadapmu."

Jimin tersenyum lalu menarikmu dalam dekapannya. Wajahmu berada di dadanya, degup jantung Jimin terdengar jelas, melodinya indah, dan berdetak bersamaan dengan jantungmu.

"Kau hanya berpura-pura begitu agar terlihat kuat. Tapi sesungguhnya kau sangat rapuh."

"Jangan asal bicara." Ketusmu.

"Terima kasih sudah merawatku." Jimin lalu mengeratkan pelukannya.

"Itu hal yang sepeleh Jim, tak perlu dipikirkan."

"Tapi bagiku, itu sangat berarti, tak banyak orang yang akan melakukan ini pada orang lain."

"Ini biasa dilakukan pasangan lain terhadap pasangannya."

"Terima kasih."



_계속_

stupid ; kthOnde histórias criam vida. Descubra agora