"Sir, apa saya perlu menyiapkan obat?" Lelaki itu bergegas menahan sang asisten. Ia memberikan gelengan pelan dan membenarkan posisi duduknya. Berusaha mengabaikan perasaan mengerikan yang tertanam jelas dalam benaknya. Sejak malam itu, hingga saat ini dan mungkin selamanya.

Gelap, dingin, dan sendirian.

Gelap, dingin, dan sendirian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Red-Lotus 819 799, melapor. Target dalam jangkauan. Sebelas anggota Blood Diamond ditembak mati." Seseorang dengan balutan seragam lengkap dengan helmet dan penutup wajah mulai melapor.

Di hadapannya duduk seorang pria dengan balutan kemeja kusut berdebu yang terikat pada kursi besi. Bercak darah tersebar di area bahu dan kerah bajunya. Ia tergelak dengan senyum sinis di wajahnya yang babak belur. Sementara itu, di sekeliling keduanya, beberapa pria tergeletak bersimbah darah dengan lubang peluru di dahi.

"Tim Satu akan tiba dalam tiga menit." Ia mengakhiri laporannya dan berkacak pinggang. Menghela napas jengkel dan melepas helmet serta penutup wajahnya. Dalam sekejap, rambut cokelatnya terurai bebas. Menjuntai melewati kedua bahunya.

Pria berkemeja itu tampak terkejut. Mungkin tak menyangka akan mendapati wajah rupawan di balik penutup wajah yang dikenakannya. Tubuh rampingnya tersembunyi di balik balutan seragam lengkap.

"Jangan terlalu terkejut. Bersiaplah, negaramu akan segera menghukummu!" Gadis dengan kode nama Red-Lotus itu membungkuk. Membuat wajahnya sejajar dengan pria di hadapannya. "Dasar pengkhianat busuk menjijikkan."

"Mulut indahmu ternyata sangat liar, sayang. Apa yang kau lakukan di dunia kejam ini? Dengan balutan seragam berat yang menyiksamu sepanjang hari." Pria itu menyeringai. Menatap raut dingin yang kini tercetak jelas di wajah gadis muda di hadapannya.

"Kau tak tahu apa yang sedang kaubicarakan, sialan."

"Easy, Darling!" Ia tergelak saat gadis itu meremat kuat kerah kemejanya. Melemparinya tatapan tajam seperti pedang pembunuh. Raut yang membuat rasa penasarannya semakin menjadi.

"Memang apa yang kubicarakan?" sambungnya dengan tawa.

Buagh

Satu hantaman mendarat di pipi tirusnya. Kursi tempatnya terikat tersentak ke samping. Pria itu jatuh berdebum di lantai yang berdebu. Ia meringis, menatap penuh minat pada gadis yang kini berdiri menjulang. Tanpa gadis itu sadari, guncangan karena pukulannya membuat ikatan di tangan pria itu melonggar. Ia menggerakkan jari-jari untuk mengeluarkan pisau tipis yang terselip di pergelangan kemejanya.

"Nona, keluarlah selagi bisa. Ini bukan duniamu. Kau tak harus bekerja untuk orang-orang busuk di gedung sana!"

Gadis itu berusaha melayangkan pukulan yang kedua saat tangan pria itu melayang mengangkisnya. Merobek sebagian sarung tangan yang ia kenakan. Meninggalkan rasa perih yang menyengat. Pria itu menyentak ikatan di kakinya dan melayangkan tendangan. Merobohkan tubuh gadis cantik itu dengan mudah.

Si gadis mendecih dan bangkit dengan cepat, menyusul sang pria. Beberapa orang dengan seragam dan helmet serupa tiba dengan senapan yang siap diledakkan.

"Mereka menginginkannya hidup-hidup, Red-Lotus!" Sebuah suara tertangkap pendengaran si gadis. Ia berbelok dan memacu langkahnya lebih cepat. Dia tak boleh kehilangan mangsanya. Tidak boleh!

Ia bertumpu pada susuran tangga dan meloncat ke bawah. Mendaratkan lututnya di bahu pria yang ia kejar. Pria itu tersungkur keras dari beberapa anak tangga terakhir. Ia menggeram jengkel seraya berusaha melepaskan diri. Tak butuh waktu lama, anggota tim lain berdatangan. Mengarahkan senjata mereka masing-masing.

"Jika negaramu tak menginginkan nyawamu, aku pasti dengan senang hati akan merampasanya!" bisik si gadis dengan nada dingin dan amarah tertahan.

"Bawa dia!"

Si gadis beranjak menjauh, membiarkan anggota tim-nya membawa pria itu. Ia menoleh pada kepala tim-nya, seorang pria muda dengan kelereng biru gelap. Delta Blue.

"Kau harus belajar mengontrol emosimu. Atau kau akan mengulang masa percobaan satu tahun kembali." Pria itu menenteng helmetnya seraya melangkah meninggalkan gedung.

"Aku tidak akan mengulang. Aku kan tidak membunuhnya!"

"Kau hampir membunuhnya."

"Hampir."

"Misimu yang sesungguhnya belum benar-benar dimulai. Jika kau terus-terusan emosional seperti ini, kau takkan pergi ke kantor pusat!"

"Mustahil!"

"Serahkan laporannya besok pagi." Pria itu mengakhiri kalimatnya dengan tatapan tajam dan berlalu. Meninggalkan si gadis dengan umpatan tertahan.

***

"Red-Lotus 819 799, alias Miss Yonesha Ariesha Aguero. Bisakah kita berbicara sebentar?" Si pemilik nama menghentikan langkahnya dan berbalik. Menatap dua orang pria bersetelan resmi di hadapannya. Ia melirik ke sekeliling sebelum mengangguk kecil.

"Ada apa? Kalian bukan anggota ISA, bukan? Bagaimana kalian masuk kemari?" Gadis itu mengangkat sebelah alis dengan curiga.

"Mr. Jannivarsh ingin bertemu."

"A-apa?"

Gadis itu tergagap sejenak. Sudah dua tahun semenjak pertemuan terakhirnya dengan pria itu. Sosok yang telah manjadi ayah untuknya. Pria yang merawatnya sejauh ini. Gadis itu melangkah mengikuti dua pria tadi menuju kafetaria yang ternyata begitu sepi. Hanya ada seorang pria yang duduk di sudut ruangan. Tepat di samping dinding kaca yang mengarah ke lapangan utama.

Pria itu tersenyum setelah meletakkan cangkir minumannya. Menunggu si gadis hingga duduk berhadapan. Senyum hangatnya tak kunjung luntur. Ia pun berujar dengan suara berat yang memenangkan.

"Sudah lama tak berjumpa, Yonesha."

****

Seperti pengumuman yang saya posting. Ini adalah remake besar dari My Cool Agent, dengan cukup banyak perubahan alur hingga tata penulisan.
Judul baru ini saya pilih karena cenderung lebih mewakilkan keduanya. Tidak hanya terfokus pada salah satu karakternya.

Menurut kalian, bagaimana pembukaan kisah mereka kali ini?

Agents : The Price of DutyWhere stories live. Discover now