3.

16.3K 2.1K 91
                                    

Anin melangkahkan kakinya penuh percaya diri di sepanjang koridor penyambung antara gedung IPS dan IPA. Langkah kakinya begitu ringan, senyum di bibirnya pun tidak sedikitpun beranjak. Sesekali Anin melambai atau menyapa siswa atau siswi yang menegurnya. Oh, siapa sih memangnya yang tidak tau Aninda Putri Baniansyah? Putri dari pengusaha muda terkenal Baniansyah Hadianputra. Keponakan dari si pemilik yayasan sekolah. Dan kekasih dari si ketua OSIS yang merangkap pula sebagai murid terpintar di SMA Angkasa, Ksatria Adiswara.

"Anin," sapa seorang gadis yang tengah duduk bergerombol dengan teman-temannya begitu Anin melintas.

Anin tersenyum manis. "Hai, Dis!" Anin menyapa gadis yang bernama Gladys tersebut dengan ramah.

Gladys dan gerombolannya pun mulai berbasa-basi sedikit dengan Anin sebelum akhirnya gadis itu pamit untuk menuju ke gedung IPS, di mana kelasnya berada.

Selepas kepergian Anin, ekspresi wajah Gladys dan teman-temannya berubah. "Najis. Sok cantik!" ucap Gladys begitu yakin Anin sudah tidak dapat mendengarnya lagi.

"Karena dia anak orang kaya aja, makanya dia eksis. Coba kalau enggak, dih!" sahut salah satu gadis yang ada di sana.

"Lagian apa ya yang dilihat sama Ksatria dari dia? Mau-mauan sama cewek sok princess kayak dia?"

"Tau. Cantik juga standar."

Anin sudah terbiasa dengan segala perhatian yang terpusat kepadanya. Sekecil apapun hal yang dilakukannya, selalu mengundang mata untuk memperhatikannya. Terbiasa menjadi pusat perhatian dan dimanja sejak kecil membuat Anin tumbuh terbiasa dengan hal tersebut. Membuat pribadinya terbentuk bagai seorang tuan putri. Dan tentunya, Anin lebih dari tau bagaimana orang-orang membicarakannya dari belakang. Bersikap seolah-olah dia adalah sahabat namun langsung mencaci makinya begitu ia berbalik badan. Dan Anin sudah terbiasa dengan semua manusia muka dua semacam mereka. Karena baginya, dirinya sendiri tidak lebih dari tuan putri bermuka dua. Anin pun sama muaknya terhadap dirinya sendiri. Namun Anin tidak peduli hal tersebut. Karena semakin banyak ia dibicarakan, semakin pula ia menjadi pusat perhatian. Dan Anin suka saat dirinya menjadi pusat perhatian.

"Anin!"

Langkah Anin terhenti begitu namanya dipanggil. Anin menoleh dan menemukan sosok Ksatria yang baru saja keluar dari salah satu ruang kelas. Yang pasti bukan kelas Anin. "Satria?" Anin pun menghampiri kekasihnya tersebut. "Kamu ngapain di gedung IPS?"

"Tadi aku abis nemuin sekretaris OSIS, terus sekalian mau ke kelas kamu, eh malah ketemu di sini."

"Iya aku baru aja dari kantin."

Ksatria melirik ke sekeliling, mencari keberadaan dua sahabat perempuan Anin yang biasanya setia kemanapun gadis itu pergi. "Kamu sendirian?"

Anin mengangguk, "Kea sama Zeta tadi kayaknya udah istirahat duluan. Soalnya mereka kan abis pelajaran olahraga."

Ksatria pun hanya mengangguk mengerti. "Besok kita jadi nonton?" tanyanya sambil melepaskan kacamata yang bertengger di matanya. Hal yang membedakan Ksatria dan Ksatrio secara penampilan pun lenyap. Kalau tidak diperhatikan dengan cermat, bisa-bisa tidak dapat dibedakan.

Anin menggigit bibirnya. "Hmm...jadi," jawabnya dengan nada tidak pasti.

Ksatria tentunya bisa dengan jelas menangkapnya. "Kok kamu gak yakin gitu? Nggak diizinin sama Ayah kamu?" tembaknya langsung.

Anin akhirnya mengangguk pasrah. Percuma juga disembunyikan, toh Ksatria pasti akan tau juga. Sejak awal hubungan mereka, Ayah Anin memang menjadi semacam tembok penghalang. Bukannya tidak memberi restu, hanya saja Ayah Anin terlalu protektif dan memberikan banyak larangan dalam hubungan mereka. Sejak awal jadian, mungkin hanya bisa dihitung jari berapa kali mereka kencan.

Ksatrio dan Tuan Putri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang