Bagian 7

40.3K 5.2K 2.5K
                                    

ZAHEEN

USTAZ Syafiq dan bahasa Arab adalah paduan yang selalu berhasil membuatku ketar-ketir setiap kali datang ke sekolah. Beliau tidak sebuas guru-guru yang dalam mata pelajarannya terdapat hitungan. Hanya saja aku tidak bisa berteman baik dengan bahasa Arab. Sepertinya bukan perkara bahasa Arab saja, melainkan mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa Inggris, dan bahasa Jepang. Aku memilih mengoleksi alpa di buku absen dalam lima mata pelajaran tersebut. Aku tidak tertarik menjadi seorang yang multilingual dan aku lebih tidak tertarik lagi jum'at pagi disambut dengan pre-test bahasa Arab.

"Zayyan... Zayyan..." Diserang panik, tanpa mampir ke kelasku terlebih dahulu, aku menemui Zayyan di kelasnya. Mejanya dekat dengan pintu masuk, memanggilnya dengan suara hantu sudah bisa membuatnya keluar dari sarangnya.

"Ada apa? Nggak ada titipan uang jajan hari ini." Oh, untuk pertama kalinya aku menerima uang jajan langsung dari tangan ibu hari ini.

"Pagi ini ada pre-test Bahasa Arab. Mana mobil jip Ustadz Syafiq udah ada di parkiran. Gawat! Tolongin dong..."

"Oh, kamu perlu catatan materi Bahasa Arab?" Dia tidak memahami maksudku. Ternyata kedekatan kami tak bisa mengalahkan kedekatan Soekarno dan Hatta, hingga mampu memahami siasat masing-masing tanpa penjelasan.

Aku hampir tidak pernah mencatat kalau tidak terpaksa. Seringkali berbagai jenis ujian kuhadapi dengan meminjam catatan Zayyan yang isinya bak kamus paling lengkap. Namun kali ini aku tidak bisa menjalankan cara lama itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, seperti sekarang.

"Terus mau dibantu gimana? Bantu do'a?" tanya Zayyan.

Ya, tidak ada salahnya memang. Selain anak kesayangan ibu, aku yakin Zayyan termasuk kategori hamba prioritas, doanya bisa menembus ruas-ruas langit lebih dulu dibandingkan doa-doaku,  akan tetapi doa tanpa usaha adalah bohong.

"Tukeran... Pelajaran pertama kamu masuk ke kelas aku. Biar hari ini aku jadi Hafidz sehari." Menjadi hafidz bukan ide yang buruk, menjadi Zayyan Syatir Al-Hafidz. Tidak akan ada yang menyadarinya selama Zayyan tidak buka suara.

"Nggak-nggak! Haram! Nggak baik membohongi guru. Ustadz Syafiq lagi!" Zayyan terang-terangan menolak ide gila itu. Jelas dia menolaknya, dia hidup di jaman kerajaan Samudra Pasai yang menjungjung tinggi etika, disimplin, dan tatakrama. Namun aku lahir bersama Zayyan untuk menjadi pawangnya.

Dengan tiba-tiba aku menyerahkan ransel panahan yang kubawa ke pangkuannya, kemudian menepuk pundaknya "Aibtahaj ya 'akhi!" kataku memberinya semangat dalam bahasa arab, lalu berjalan mendahuluinya masuk ke kelasnya. Sepertinya hanya kalimat bahasa Arab itu yang pernah menempel di benakku.

Awalnya dia meringis protes, namun ketika dering bel peringatan pelajaran pertama akan dimulai dan aku sudah duduk di mejanya, dia memilih pergi ke kelasku sambil berwajah masam. Akan kuterima segala konsekuensinya, sekalipun nanti Zayyan akan memberikanku wejangan ala Ustadz Umar yang satu detiknya serasa satu lustrum.

Namun rupanya konsekuensi dari Tuhan lebih dulu kuterima saat itu juga. Ini seperti keluar kandang harimau lalu masuk ke kandang buaya. Zayyan tidak mengatakan kalau mata pelajaran pertamanya adalah Bahasa Inggris. Percuma terlepas dari bahasa Arab kalau harus bertemu dengan Bahasa Inggris. Sepertinya aku memang tidak menyukai jam pelejaran apapun, kecuali jam kosong, jam istirahat, dan jam pulang.

Wajah pucat menghiasiku selama duduk, berharap Mr. Gilang tidak mengenaliku selama di kelasnya Zayyan. Kalau sampai terbongkar dan kasusnya di bawa ke ruang BK, tak akan ada ampun lagi bagiku. Perkataan guru memang selalu terasa benar. Apapun kalau niatnya sudah buruk, hasilnya pun akan buruk. Kalaupun hasilnya baik, itu hanyalah keberuntungan yang menjerumuskan.

Aku, Al-Qur'an, & Alzheimer Where stories live. Discover now