five

1.4K 256 38
  • Dedicated to louis' nan
                                    

 A/N:Maaf nih ya, aku pendekin chapter ini biar 'greget'nya terasa. dan aku kira chapter ini absurd, jadi kalo ada scenes yang aneh gitu, lewatin aja. idgaf kalo gasuka, jangan post rude comment dibawah.

budayakan vomment, hey kau, silent readers.***

Singkat waktu, Bethany terbangun dan mendapati dirinya terbaring di beton keras, dengan sakit di sekitar keningnya. Cahaya terang lampu utama kamar itu membuatnya kesilauan, tetapi ini sepertinya tidak bisa dibilang kamar—karena Bethany sekarang tertidur di beton keras dan sama sekali bukan ranjang.

Bethany terduduk, dan memegang pelipisnya, memijatnya dengan kedua telunjuk dari kedua tangannya. Bethany mengerjap dan mendapati dirinya berada di ruangan hampa yang seluruhnya warna abu-abu, seperti bangunan dari semen yang sama sekali tidak niat untuk dicat.

“Tempat apa ini?” katanya, hampir serendah bisikan. Bethany memandang keliling ruangan dan menemukan lelaki yang kemarin mengunjungi rumahnya tepat setelah Harry pergi.

“K-kau…?” Bethany tergagap, Bethany takut jika lelaki itu benar-benar mencabut nyawanya sekarang, apalagi sekarang tidak ada Harry untuk bisa melihat apa yang terjadi.

Lelaki itu berjalan perlahan ke arah Bethany. Bethany hanya menatap mata lelaki itu yang bisa dibilang dia sedang menatap kosong. Lelaki itu tatapannya dingin dan tidak menyiratkan sama sekali keramahan disana.

“Oh, kau memilih untuk mencari tahu tentang kami di pepustakaan, gadis tengik?” tanyanya. Bethany menyilangkan tangan di dada, menatap lelaki ini dengan tatapan bilang-apa-tadi?

What?” tanya lelaki itu.

“Kau membawaku kesini, kau membentakku, dan pada akhirnya kau memanggilku dengan tidak sopan.”

Lelaki itu memutar bola matanya, dan kembali lagi menatap Bethany. “Fine. Sudah puas, Putri Tidur?”

“Oh, wow. Terima kasih.” jawab Bethany. Dengan tatapan datar, ekspresi datar, dan nada bicara yang datar. Lelaki itu juga menyilangkan tangan di depan dada, “Apa maksudmu mengorek rahasia para dewa kematian di buku busuk itu? Apa yang kau inginkan?” terror lelaki itu lagi.

Bethany menarik nafas, “Pertama, aku ingin tahu, apa maksud dari mimpiku. Kedua, yang kuinginkan? Mencaritahu apa maksud dari mimpiku.” jawab Bethany, jika dipikir, kedua jawabannya sama persis. Bethany memang plin-plan.

Lelaki itu tertawa meremehkan, “Aku. Aku yang menyuruh Selena masuk ke dalam mimpimu, dan dengan begitu, kau merasa ter-terror, bukan? Itulah yang aku mau. Kau mencaritahu tentang kami sebanyak mungkin, dan kemudian kau menjadi stress dan gila ketika kau tahu kalau kau mengorek rahasia tak berujung. Aku ingin kau cepat mati, Elder.”

Bethany menelan ludah, kalimat terakhir lelaki itu terlalu langsung—kau tahu, terlalu blak-blakan kalau istilah santainya. “Aku belum gila, dan tidak akan pernah gila.” jawabnya.

“Oh, ya? Tapi kau sudah gila karena Harry.”

Bethany terkesiap, “Apa yang kau rencanakan, sih, sebenarnya?”

Lelaki itu kembali tertawa, “Aku punya nama, Elder. Kode 444, Louis Oliver Tomlinson. Aku tangan kanan dewan teratas.” Lelaki yang bernama Louis itu berdehem, “Tugasku adalah mencabut nyawamu, dengan bantuan Selena. Dan menjauhkan Harry darimu. Dan kau tahu, Elder?”

Louis berhenti sejenak, mendekatkan wajahnya ke Bethany.

“Harry bersamaku, Harry akan mencabut nyawamu, dan itu sebabnya dia mendekatimu.” bisik Louis, tepat di telinga kanan Bethany. Bethany merasakan nafasnya tercekat, mulutnya terbuka sedikit. Dia tidak percaya dengan apa yang Louis katakan, tentunya. Tetapi itu ada benarnya juga jika dikaitkan dengan kasus-kasus sebelumnya(Harry menjanjikan kematian untuk Bethany, lalu berkata itu hanya bercanda. Aneh, bukan?)

Kembali ke Louis dan Bethany, sekarang Bethany merasa membeku. Sepertinya dia terkena keringat dingin dan dia susah menelan kata-kata Louis.

Louis menyeringai licik, dan pergi menjauh dari Bethany. “Aleskia!” teriak Louis, sambil menunjuk Bethany dengan telunjuk tangan kanannya. Seketika Bethany merasakan cahaya emas terang yang kembali menerpanya, dan—gelap. Semua gelap setelahnya.

Bethany kembali mengerjapkan mata, dia merasakan ada sebuah tangan yang memegang tangan kirinya. Bethany mengerjap, berusaha menyaring cahaya yang masuk ke retina matanya. Kali ini Bethany menemukan dirinya di ruangan serba putih, aneh, bukan? Harinya memang selalu aneh.

Bethany menghirup nafas, tetapi bau tajam seperti obat-obatan membuatnya agak terbatuk, dan itu membangunkan seseorang yang memegang tangannya.

“Oh, Beth!” Bethany menoleh ke sumber suara, ayahnya ada disana. Ayah Bethany terlihat cemas—melewati kata ‘cemas’ malah. Ayah Bethany berpakaian agak kotor, dan Bethany sama sekali tidak bisa menebak apa yang baru saja dikerjakan ayahnya. Bethany refleks menghambur ke pelukan ayahnya, dan menangis di bahu kiri ayahnya.

Sekitar beberapa detik kemudian, ayahnya melepaskan pelukan itu. “Aku bau, belum mandi, Beth. Bajuku kotor.” canda ayahnya. Bethany tertawa, dan matanya kembali menyusuri seisi ruangan, “Um.. dad, bukankah ini rumah sakit?”

“Iya, Beth. Ini rumah sakit.”

Bethany melihat tangan kirinya, dan benar saja, terdapat infus disana. “Apa yang terjadi denganku?”

“Entahlah, aku dikabari kau tergeletak di depan cermin besarmu yang pecah. Oh, dan, kau mendapat beberapa luka goresan dari cermin yang pecah. Kau tidak apa-apa, beth?” tanya ayahnya. Bethany tersenyum, “Sejauh ini baik-baik saja.”

Bethany berdehem, “Siapa yang mengabarimu kalau aku terjatuh disana?”

Ayah Bethany terlihat tersentak, entah bingung dengan jawabannya atau pertanyaannya. “Uh—em, Harry..” jawab ayah Bethany lambat. Bethany juga tersentak setelahnya, “Harry? Harry siapa?” tanyanya. Ayah Bethany tidak menjawab, dan malah melirik ke pintu masuk dan tidak lama setelah itu, Harry muncul disana. Dengan baju putih polos, skinny jeans yang robek di bagian lutut dan bootsnya. Rambutnya tertata rapi, dan dia memakai jam tangan.

Harry membuat Bethany melotot. Dimana sayap dan cincin besar di kepalanya? Dimana jam pasir yang terletak di belakang cincinnya? Dan dimana baju serba hitam yang selalu dipakainya?

Harry berjalan mendekat kearah Bethany, “Anakmu pertamamu, ya, tuan?” tanyanya. Ayah Bethany mengangguk, “Ya, saudara kembarnya meninggal saat sehari setelah dilahirkan.” jawab ayah Bethany. Bethany melongo tidak percaya, kenapa Harry berbicara seolah baru pertama kali bertemu dengannya? Kenapa Harry berbicara seperti sudah lama mengenal ayahnya?

Harry menyodorkan tangan kearah Bethany yang sedang duduk bersandar di dinding dengan alas bantal putih. Bethany menerima uluran tangan Harry, “Harry Styles.” katanya.

Bethany tersenyum, “Bethany Lewis. Senang bisa bertemu denganmu. Terima kasih sudah mengabari ayahku tentang aku yang semberono luar biasa ini.”

Harry terkekeh pelan, “Aku sebelumnya ingin menemui ayahmu, tetapi saat mendengar kaca pecah, aku langsung masuk kesana. Maafkan aku tuan Ben.” kata Harry setelahnya. Ayah Bethany juga terkekeh, “Tidak apa, kau menyelamatkan anakku.”

Harry tersenyum, sedangkan Bethany diam. Dia sama sekali tidak mengerti kata ‘menyelamatkan’ karena itu terdengar ganjal di telinganya.

“Beth, Harry ini memiliki tanah kosong, dan aku ingin membelinya untuk bertani dan berkebun. Keluarga Styles memang kaya sekali dengan lahan berhektar-hektar luasnya.” Ayah Bethany mulai menjelaskan.

“Nektar?” tanya Bethany, sok tidak mendengar apa yang dikatakan ayahnya. “Hektar, Beth.” lanjut Harry. Ayah Bethany kembali melanjutkan, “Maka kusuruh dia ke rumah, dan aku tidak datang tepat waktu—“ ponsel ayah Bethany memotong pembicaraannya. “Aku keluar sebentar menerima telepon.” ucap ayahnya.

Ayah Bethany berlari keluar, dan ketika pintu menutup, Harry kembali tersenyum kearah Bethany dan berkata, “Selamat memulai semuanya dari awal, Bethany.”

roof >< h.s {completed}Where stories live. Discover now