SIBUK

46 0 0
                                    

Pulang dari kantor aku memutuskan untuk tetap tinggal di mess yang disiapkan perusahaan. Kali ini aku sedang lelah untuk menempuh perjalanan sekitar 60 km. Lagipula ada tugas kantor yang harus selesai esok pagi. Ku putuskan segera mengerjakannya sore ini juga. Ada sebuah tempat favoritku di kota ini. Tempat yang menawarkan keheningan dan kedamaian. Bagi yang mencari, inilah tempatnya. Kafe rumahan berdesain belanda dengan rumput hijau luas di bagian belakang sedangkan di depan adalah jalanan kota.
Tempat favoritku adalah bangku belakang di dekat taman. Jauh dari keramaian. Yang ku pilih adalah bangku dipojokan. Menghadap dinding yang seluruhnya terbuat dari kaca. Jika hujan turun, kaca dan air hujan seolah sedang berdansa. Mereka menyatu tapi tidak menyatu. Hanya saja terlihat sangat indah. Saling menempel lalu air hujan mengalir mencari tempat terendah. Seperti filosofi hidup. Bahwa kesedihan yang kita rasakan tidak  sebanding dengan kesedihan langit. Ketika kita menangis, ingatlah langit menangis lebih keras. Air matanya sampai ke bumi. Kali ini mengalir di sebuah kaca dan membuatku ingin membantunya. Membantu langit mengusap air matanya.
Kali ini aku memesan greentea latte favoritku. Hari libur, namun pekerjaan rumah menggunung. Seluruh berkas menunggu untuk dilakukan pengecekan ulang. Hitung-hitungan. Laporan tertulis. Bulan ini akan dilakukan tutup buku. Istilah untuk laporan akhir di bulan Desember. Sekarang akhir tahun. Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini sebelum libur panjang natal dan tahun baru. Aku sudah merencanakan untuk cuti dan berlibur ke Jakarta. Tepatnya menuju pulau seribu. Melepas penat yang tertumpuk selama 365 hari.
Ku baca lembar demi lembar laporan akhir tahun yang sudah ku buat. Ku baca ulang. Lagi dan lagi. Jangan ada kesalahan.
Ini salah satu kafe favoritku. Letaknya diujung jalan Pattimura. Banyak penjual pisang di sisi kiri jalan. Sementara restoran dan kafe terletak di sisi kanan. Sesekali aku melempar pandang ke sudut jalan. Jalanan terlihat lengang. Ini tahun 2006. Mungkin pemandangan akan berbeda dalam waktu duapuluh tahun mendatang, atau bahkan sepuluh tahun.
Hidupku lebih persis seperti kebalikan dari kehidupan perempuan usia 20 tahunan yang lainnya. Mungkin banyak dari mereka yang sudah berumah tangga, atau mengejar ilmu ke luar kota. Aku harus tetap bekerja untuk. Biaya hidup sekarang semakin tinggi.  Setelah bekerja paruh waktu di restoran cepat saji enam tahun lalu untuk membiayai kuliahku, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lebih layak setelah dinyatakan lulus oleh universitas. Pekerjaan yang dibekali gelar sarjana tentunya memiliki masa depan lebih cerah dalam hal jabatan atau golongan di kantor maupun perusahaan. Bagiku gelar sarjana saja tidak cukup. Aku ingin berkarir lebih tinggi. Akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di tempatku sekarang. Kali ini aku ingin bekerja lebih fokus. Mencari bekal uang lebih fokus. Agar kuliahku tidak keteteran seperti dulu. Aku harus pontang panting kesana kesini. Apalagi bekerja di restoran cepat saji dengan pelanggan yang banyak cukup melelahkan. Aku tidak memiliki cukup waktu untuk belajar yang giat. Tenagaku terkuras saat bekerja. Selama delapan jam berdiri membuat kakiku sakit. Rasanya ingin membelah diri, seandainya saja bisa.
Karena keterbatasan di keluargaku, aku memutuskan bercita-cita menjadi entrepreuner, demi memperbaiki ekonomi keluarga. Maka yang ku masuki adalah universitas negeri dengan jurusan bisnis. Walaupun sebenarnya cita-citaku adalah menjadi seorang dokter. Menjadi Kenapa universitas negeri? Tentu karena biayanya jauh lebih murah dibanding universitas swasta. Kenapa bisnis?  Agar aku bisa menjadi perempuan yang terampil dan bisa menghasilkan uang sendiri pun sembari kuliah.  Karena yang ku dengar saat itu dari tetanggaku yang juga kuliah dijurusan bisnis, ia dapat mencari uang sambil kuliah dengan mengikuti berbagai event. Memang butuh modal, itulah sebabnya aku banting tulang untuk membiayai kuliahku sendiri. Terkadang ibu memberiku uang tambahan. Apabila ia sedang ada pekerjaan tambahan.
Setelah selesai mengerjakan tugas yang ku bawa dari rumah, aku memutuskan pergi ke pusat perbelanjaan. Di sana terdapat sebuah toko buku. Jiwaku sudah haus akan bacaan-bacaan yang dapat memperkuatku. Karena aku tidak suka bergantung dengan orang lain. Ibuku mengatakan, perempuan yang sukses adalah perempuan yang mandiri. Terbiasa ditempa. Baik raga maupun jiwanya. Seorang perempuan seharusnya berpendirian teguh namun berhati lembut. Agar kelak ketika mengurus rumah tangga ia sudah terbiasa berdiri sendiri, tidak merepotkan suami. Sejatinya suami adalah kepala keluarga, tapi istrilah intisari dari sebuah keluarga. Istri adalah planner terbaik. Istri yang membuat rumah menjadi lebih hidup. Mengurus anak-anak. Membentuk karakter mereka menjadi anak-anak yang baik. Menua bersama lalu bahagia bersama melihat anak-anak tumbuh besar dan menikahkan mereka. Istrilah jiwa dari sebuah keluarga. Kemudian aku terpikir. Siapa kelak yang akan menemani ku di hari tua? Siapa pria yang kelak menjadi ayah, menjadi kakek dari keluarga kecil yang kami bentuk. Pria yang tak lelah mendengar ocehan ku setiap pagi, setiap hari. Dia yang akan setia melindungiku. Menjaga hatinya senantiasa untukku. Berdua kami saling merawat dan memelihara di saat mungkin penyakit akan datang berbondong-bondong tanpa perlu diundang.

Aku teringat akan cinta pertamaku enam tahun lalu. Pertama kalinya aku jatuh cinta. Untuk pertama kali juga aku membayangkan membangun keluarga bersamanya.
Sayangnya takdir tidak selalu sehati dengan kita. Ada banyak teka-teki yang dirahasiakannya dalam-dalam. Tidak ada yang dibiarkannya tahu. Termasuk aku.
Membiarkan kenangan pahit muncul itu mudah. Menyingkirkannya yang sulit. Karena memori manusia sudah dibentuk Tuhan sedemikian bagusnya. Bukan kenangannya yang salah. Tetapi hati kita. Tapi sudahlah, itu sudah enam tahun lalu. Setiap manusia di dunia ini pernah memiliki kenangan manis dan pahit. Sekali lagi, ibu bilang perempuan perlu ditempa, agar menjadi tangguh, mandiri, dan tidak cengeng.
Handphone ku bergetar. Ada sebuah sms dari operator. Isinya berbunyi ada pulsa sebesar 5000 rupiah yang masuk. Aku mengernyitkan kening. Hingga aku sadar ada seorang mas-mas yang tadi pagi secara tidak sengaja bertemu denganku di halte.
Handphoneku bergetar lagi. Kali ini ada sms dari nomor baru yang tidak dikenal.
From: 08*********
Terimakasih atas bantuannya tadi pagi ya Ra. Bantuan kecil yang berarti besar. Berikut ku lampirkan pulsa sebagai balas jasa atas kebaikanmu :)
-Ozan-
Aku tertawa membaca sms darinya. Apapula ini pulsa dilampirkan, macam surat kantor saja. Tanpa sadar aku sibuk senyum-senyum sendiri.

KEHILANGANWhere stories live. Discover now