PERTEMUAN

116 1 0
                                    

Pagi ini, tepat pukul enam pagi di sebuah halte bis di dekat balai kota,  aku duduk menunggu bis menuju tempat kerja. Sebuah ritual yang setiap pagi selalu ku lakukan. Aku sudah terbiasa menunggu. Tidak seperti semboyan para penggerutu, menunggu adalah hal paling membosankan. Siapa pula yang membuatnya? Bagiku menunggu itu seperti kita sedang diberi waktu ekstra. Banyak hal bisa dilakukan sembari menunggu. Membuat puisi, misalnya.
Ku pasang headphone abu-abu favoritku. Ini lagu lama. Lagu Wonderwall milik Oasis. Lagu yang mengingatkanku tentangmu, enam tahun lalu. Lagu yang dinyanyikan olehnya di hari ulang tahunku. Iya, enam tahun lalu. Namun ingatanku belum usang, untuk memori semacam itu. Sampai tiba-tiba.......
"Halo?" Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunanku. Ku lepas headset yang nenempel di kepalaku.
"Maaf, handphone saya tertinggal di rumah. Boleh saya minta pulsa untuk satu kali sms? Nanti pulsanya saya ganti mba", ucapnya.
Dia menatap mataku,  persis tatapan kucing yang dengan sabar gelayutan di kaki menunggu potongan ikan dari majikannya. Ku balas menatapnya from head to toe persis perempuan lagi perawatan kecantikan. Lengkap. Dia seorang laki-laki dengan usia sekitar 27 tahun, dengan tinggi badan sekitar 170cm, rambut cepak mirip John Mayer (hanya rambutnya), berkulit bersih, alis hitam tebal, mata teduh, hidung cukup mancung, bibir tidak berpigmen kehitaman dengan gigi warna normal, bisa dipastikan dia bukan seorang perokok. Dia berdiri di depanku, mengenakan kemeja berwarna biru tua berlengan panjang yang dilipat hingga siku  dengan motif kotak-kotak mini. Celana hitam panjang hingga mata kaki. Sepatu tanpa tali sepatu tanpa perekat warna abu tua. Tas selempang kulit semi sintetis berwarna hitam. Jam tangan steinless silver. Cukup rapi. Itulah kesan pertama ku tentangnya. Setelah puas ku perhatikan setiap inchi darinya dan meyakinkan ku untuk mau memberi sedikit bantuan. Apalah artinya hanya pulsa sekali sms pikirku.
"Berapa nomornya? Kalau aku aja yg smsin keberatan?", aku harus tetap waspada.
"Nggak masalah mba. Terimakasih banyak ya"
Setelah dia menyebutkan nomor tujuan smsnya beserta isinya, aku segera mengirim pesan sesuai permintaannya. Kemudian tak lama berselang, sebuah bis kota berwarna ungu tua melintas di depan kami. Aku bergegas berdiri dan masuk ke dalam bis. Begitupun dia.
Aku sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela. Perjalanan apapun. Menggunakan transportasi jenis apapun, itu kesukaanku, memandang keluar ke sisi jalan, kadang banyak gedung tinggi menjulang, lalu ketika sudah jauh dari kota, akan ada deretan pohon besar tumbuh kokoh ditemani pohon-pohon kecil dan semak belukar.
"Kita belum kenalan. Aku Ozan", dia menjulurkan tangan mengajak tanganku bersalaman.
"Ara", aku membalas jabatan tangannya, mengulum senyum yang sesungguhnya ingin tersunggung lebar, namun ku tahan, jangan terlalu menebar benih-benih pesona, aku sedang tidak berminat menggoda siapapun.
"Aku sering melihatmu menunggu bis di halte itu",
"Oya? Rasanya aku baru melihatmu pertama kali ya hari ini",
"Aku tau. Kamu pasti jarang memperhatikan sekitar. Kamu lebih asik dengan buku tulismu itu", dia tersenyum melirik ke arah notebook mini bergambar tokoh film kartun Brave.
"Nggak juga. Tapi sayang aja punya waktu menunggu kalau cuman dibuat bengong", jawabku sedikit tertawa.
"Bagus. Karena terlalu banyak melamun bikin ayam tetangga mati kan? Hahaha",
"Hahaha, benar. Tapi jaman sekarang sih tetanggaku udah nggak ada yg melihara ayam. Mereka pelihara ular,  burug hantu, anjing, kucing, tupai", balasku.
"Kalau gitu mereka juga bisa tiba-tiba mati akibat kamu melamun, hehehe",
"Wah jangan dong, kasian kan yang punya nanti sedih", aku tiba-tiba teringat akan kucingku yang mendadak sakit lalu tak lama pergi ke dunia lain. Sedihnya saingan sama putus cinta.
"Kamu kirim kemana tulisan-tulisanmu?",
"Ah, ini? Nggak, aku cuman suka menulis, tapi sekalipun belum pernah ku kirim ke siapapun. Hanya untuk koleksi pribadi",
"Kenapa? Kamu bisa jadi freelance writer. Kamu cukup produktif I think. Sudah berapa banyak buku yang kamu tulis", dia bertanya, terlihat antusias.
"Sekitar 18 buku, kayaknya sih",
"Itu cukup banyak, Ra",
"Hehehe, masa sih? Tapi isinya nggak berkualitas ah. Aku kan cuman asal nulis",
"Siapapun bisa jadi penulis Ra, nggak masalah tulisanmu berkualitas atau nggak, itu kan dari kacamata mereka yang punya background keilmuannya, tapi seberapa menyenangkan dan berkesan untuk dibaca atau nggak bagi pembaca yang harus kita utamakan",
"Sekalipun belum pernah terpikirkan untuk membuatnya jadi buku betulan", jawabku sambil membolak-balik kertas notebookku dan membacanya sekilas.
"Kamu kerja dimana?",
"Aku cuman karyawan perusahaan yang bergerak dibidang textile",
"Oya? Di bagian apa? ",
"Ya barang jadinya sih. Ngecek pakaian dan barang-barang yang sudah dijual. Memastikan mereka dalam kondisi baik dan siap kirim. Milih-milih mana yang bisa dijadikan rekanan. Kamu?",
"Aku pegawai sebuah perusahaan bangunan",
"Semacam kontraktor?",
"Iya, seperti itu",
Tujuan kami sudah dekat. Yaitu sebuah terminal bis di jantung kota. Benar saja, lima menit kemudian bis sudah memasuki gerbang terminal.
"Sekali lagi terimakasih untuk pulsa smsnya. Nanti ku ganti pulsanya ya",
"Apaan sih, cuman 150 perak. Nggak usah lagi", aku buru-buru menolak tawarannya.
Dia hanya tersenyum.
"Aku duluan ya", lalu dia pun segera turun.
Aku memperhatikannya dari jendela bis tempat aku duduk tadi. Dia terlihat berlari menuju bis yang lain. Kemana dia pergi?

KEHILANGANWhere stories live. Discover now