1. Kota Manusia

1K 148 96
                                    

Desauan angin yang tenang membelai wajahku lembut. Pastilah ia bersekongkol dengan gemerisik dedaunan untuk mengusik tidurku yang nyaman. Selalu begini. Kubuka mataku dan semburat jingga keemasan langsung menyerangku.

"Ah!" erangku pelan.

Aku memejamkan mataku beberapa saat, demi mengusir pening akibat cahaya silau tadi. Setelah siap, aku membuka mataku lagi lalu meregangkan persendianku. Sebenarnya aku masih mengantuk, tapi tampaknya alam tak mendukungku jadi pemalas.

Baru saja berniat bangun, aku kehilangan keseimbangan. Terdengar suara dahan patah dan bersamaan dengan itu, tubuhku tertarik oleh bumi. Panik, aku mengepakkan sayap dan berhasil mengambang di udara.

Sinar jingga itu mengalihkan perhatianku. Aku menoleh dan tercekat. Berkas sinar itu berkumpul di ufuk barat, mencelup langit lembayung dengan warnanya yang memukau.

Matahari.

Ia adalah bintang penerang semua orang, cahaya yang membawa tawa pada senja menjelang musim panas ini. Ironis, aku hanya dapat tersenyum pedih, memeluk rasa cemburu dan putus asa. Sebab, sampai kapanpun aku tak bisa berjalan beriringan bersamanya.

Kuputuskan untuk merentangkan sayapku dan terbang ke puncak pohon tertinggi di hutan kawasan lindung ini. Dari sinilah aku bisa melihat kegelapan yang mulai menelan langit dengan jelas. Malam yang selalu membuatku nyaman karena itulah saat aku hidup.

Tirai malam turun perlahan. Esok hari fajar akan terbit menyambut siang, lalu kembali ke petang. Waktu senantiasa berjalan, berkebalikan dengan roda kehidupanku yang sudah macet. Mungkin sejak orang itu meninggalkanku, atau sejak kondisiku berubah seperti ini. Tidak bisa lagi menikmati siraman cahaya mentari pagi dan tak bisa menelan makanan apa pun, kecuali darah.

Benar, darah. Seharusnya aku bangun hanya untuk itu.

Kugelengkan kepala untuk mengusir semua lamunanku. Aku melesat terbang meninggalkan wilayah hutan menuju kota manusia terdekat. Menantang maut demi setetes darah, hanya ini yang bisa kulakukan sembari menunggu ajal menjemputku. Demi setitik harapan yang tidak pasti.

Harapanku sederhana: bertemu dia lagi. Satu-satunya orang yang kucintai di dunia ini. Seandainya bertemu dia yang sudah mengubahku seperti ini, mungkin aku akan tahu jawaban atas semua pertanyaanku, kebenaran tentang diriku sendiri yang tidak pernah aku tahu.

Dan mungkin dengan bertemu dia, detak jarum waktuku akan kembali berputar.

=====

Kota kecil yang rapi dan teratur ini cukup ramai. Di antara bangunan-bangunan yang berdempet seolah berebut tempat, membentang jalan lebar yang dipadati puluhan kendaraan. Waktu memang baru beranjak malam, tetapi manusia-manusia itu semakin banyak keluar dari sarangnya.

Ini adalah salah satu kebodohan manusia menurutku. Aneh mengapa mereka tampaknya lebih senang beraktivitas di malam hari dan beristirahat saat siang. Padahal tidak ada yang lebih baik daripada kombinasi kehangatan sinar matahari dan terpaan angin lembut ketika keduanya mengenai wajahmu. Seandainya mereka berubah menjadi seperti aku, mungkin mereka akan menyesali kebodohannya.

Aku mendarat di tengah-tengah taman kota. Para manusia itu tak menyadari kehadiranku. Diam-diam namun cepat, aku mengendap-endap ke arah seorang anak kecil yang tengah memberi makan sekawanan merpati.

"Argh!" pekikan gadis kecil itu menyayat suasana saat aku mencekik lehernya tanpa ragu.

Perhatian semua orang langsung tertuju padaku. Dengan mata terbelalak, air muka mereka berubah pucat pasi. Kaki mereka langsung berlari puntang-panting, berhamburan meninggalkanku dengan mangsaku.

"Panggil polisi!" salah satu dari mereka berseru.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Rasa takut membuat mereka tak acuh dengan nasib gadis kecil di tanganku. Kalau seperti ini, aku bisa menyantap hidanganku dengan tenang sebelum petugas keamanan setempat tiba.

Senyumku hampir terulas ketika seseorang melempar sepatu berhak tajam ke arahku yang untungnya berhasil kutangkap dengan sigap.

"Ja-jangan coba-coba kausakiti putriku!" teriak wanita itu dengan suara gemetar.

"I ... Ibu!" gadis kecil di tanganku berteriak lemah.

"Oh, jadi kau ibunya?" aku menyeringai pada wanita di depanku.

"Di-diam! Takkan kubiarkan kau menyakiti putriku!"

Sebenarnya ini menarik. Sudah lama sekali tak ada manusia yang berani menghadapiku. Seperti yang sering kukatakan, mereka itu bodoh. Ketika orang yang mereka sayangi akan mati, mereka tetap diam di tempat dengan takut. Katanya mereka saling mencintai, tapi nyatanya manusia itu egois dan cintanya pada diri sendiri lebih besar dari apa pun.

Tapi wanita di depanku berbeda. Ia berteriak dan maju menerjangku dengan sembrono, hendak merebut putrinya. Dengan mudah aku menghindari serangannya. Aku melayang-layang, masih dengan gadis kecil itu di tanganku. Aku memandang wanita di bawahku dengan sinis.

"Bisakah kau?" tanyaku, sedikit penuh harap. Sudah lama aku tak pernah bersenang-senang. Keberanian wanita ini lebih menghiburku daripada serangan peluru.

Aku membungkukkan tubuhku pada leher gadis kecil itu. Ia bergidik. Tubuhnya gemetar, masih meronta dan menjerit. Kuhirup aroma lehernya. Wangi sabun lavender.

Hatiku meragu. Di satu sisi aku harus menghentikan rasa hausku. Di sisi lain, aku tidak yakin apa pantas memutus tali kehidupan gadis sekecil ini. Tak mungkin aku melepaskan dia. Tetapi tak seorang pun yang akan selamat setelah kumangsa.

"Maaf ..." lirihku.

Sesaat tubuhnya membeku. Segera kubenamkan taringku pada lehernya, merobek kulitnya. Jeritannya melengking menggetarkan gendang telingaku, beradu dengan teriakan ibunya. Namun aku tidak akan mundur. Lidahku mulai menjilat darahnya yang mengalir keluar. Kenikmatan darah segar ini memabukkanku.

Tubuhnya dalam pelukanku terasa melemah dan terkulai tak bertenaga. Darah masih terus keluar dari luka di lehernya. Sementara itu teriakan ibunya semakin keras di bawah sana.

"Berhenti! Berhenti!" wanita itu berteriak putus asa karena tak bisa menghentikanku. "Aku saja! Biarkan ia hidup! Bunuh aku saja! Jangan sakiti putriku!"

".... Jangan sakiti putriku!"

Aku tersentak dan spontan menjauhkan kepalaku dari leher anak itu. Kilasan kenangan berkelebat di kepalaku. Hidupku yang hampa dan aku bisa bertahan karena bertumpu pada harapan tidak pasti. Juga masa kecilku yang berwarna-warni bagaikan dongeng.

Saat itulah, sesuatu mengenai kakiku. Terasa dingin dan basah. Tampaknya serangan itu berasal dari bawah, dilancarkan dengan memanfaatkan kelengahanku.

Mendadak aku merasa kepalaku pening sekali. Seluruh sel dalam tubuhku berteriak kesakitan. Kesadaranku mengabur. Hal terakhir yang kusadari adalah gravitasi menarik tubuhku kuat. Anak di pelukanku tampaknya sudah pingsan sedari tadi. Kami jatuh bersama.

Ibunya menjerit. Dan tidak terdengar apa-apa lagi.

-PS-

A/N

Btw .... nama dia belum ketahuan ya?

Please vote and comment 😊

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang