1 | teman? [re-publish]

6.4K 223 51
                                    

We wish you merry christmas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

We wish you merry christmas.... We wish you merry chirstmas....

Suara nyanyian itu begitu melengking di telingaku. Sampai rasanya hatiku pun ikut-ikutan melafalkan bait demi bait tanpa kendali. Bukan karena aku mau, tapi justru karena suara itu begitu pekat mengiang-ngiang sedari azan subuh tadi. Bagaimana tidak? Rumahku terletak lima puluh meter dari Gereja.

Assalamu'alaikum warrahmatullah.

Kehadiranku tepat ketika Umi menyelesaikan salam terakhir pada salatnya. Bibirnya berkomat-kamit, tangannya menengadah, matanya seolah memanas hingga beberapa bulir air mata jatuh. Berderai. Aku hanya mematung menyaksikan betapa khusyuk Umi berdoa. Entah memanjatkan pinta apa. Yang jelas, kuyakin doa itu mengudara amat tinggi dan saling berangkulan menuju singgasana-Nya.

"Sayang, sejak kapan kamu berdiri di situ?" Umi menoleh ke arahku. Mengelap air matanya yang terjatuh. Duduk bersila mengisyaratkanku untuk mendekat ke sampingnya.

"Maaf Mi, Ila nggak maksud buat ganggu salat Umi," kataku menunduk merasa bersalah. Mengembuskan napas kasar. Umi mengelus pipiku.

"Nggak papa, La. Kamu kenapa ke sini? Ada yang mau kamu tanya?" Umi melepaskan mukena. Sambil lihai melipatnya dengan rapi.

"Itu Mi, Ila mau ke pasar. Umi nitip apa?" kataku memulai. Setelah pertanyaan ini, mungkin ada pertanyaan yang akan aku tanyakan lagi. Lebih penting. Alasan Umi menangis di setiap doanya.

"Ya sudah, kamu tolong belanja sekalian ya, La. Nanti Umi liat barang apa saja yang habis. Kamu siap-siap saja dulu. Pakai jaket ya, La. Masih dingin soalnya," kata perempuan bergelar Ibu yang kusebut Umi itu lembut.

Umi berdiri terlebih dahulu, pelan tapi pasti kakinya melangkah menjauhiku. Aku mengumpulkan kosakata, merangkainya dalam hati. Pelan-pelan. Sepersekian detiknya. Aku bersuara. Suara yang hampir menyangkut di kerongkongan saking pelannya.

"Umi ...." Suaraku kalah dengan suara detak jam. Umi menoleh seolah berkata "Apa?" aku mengembuskan napas kasar berkali-kali.

"Apa alasan Umi menangis di setiap doa Umi? Apa Aqila boleh tahu apa pinta Umi?" tanyaku pelan. Ragu-ragu.

"Umi minta sama Allah. Agar Aqila selalu sayang sama Umi. Dan tetap jadi Aqila kecil yang mandiri untuk Umi." Singkat. Tapi perkataan Umi membuatku sempurna diam. Meresap.

Selepas kalimat terakhir, Umi langsung pergi ke dapur. Barangkali mengecek barang apa yang harus aku beli di pasar.

***

Pagiku kali ini beda. Jaket tebal bermotif garis-garis mendarat mulus di tubuhku yang mungil. Sederet list barang yang harus kubeli juga sudah anteng di saku jaket. Pelan aku gas motor matic pemberian Abi.

MY FALSE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang