Hitam.
Gadis itu menengadah ke arah langit dan membiarkan tudung yang menutupi puncak kepalanya jatuh bergantung di punggungnya. Langit sudah gelap sejak ia menjejakkan kakinya di area itu. Namun, langit masih enggan mencurahkan titik-titik hujannya.
Gadis itu masih bertahan di tempatnya berdiri tanpa sekalipun mengalihkan pandang dari langit. Orang-orang berpakaian hitam yang melintas di sekitarnya menatapnya heran.
Tanpa mereka tahu apa yang kiranya diminta gadis itu pada langit.
Tanpa mereka mengerti alasan gadis itu berdiri di sana.
Tanpa mereka pahami bahwa di pelupuk mata gadis itu tercipta genangan air mata yang sudah ia tahan-tahan sekuat hati. Kumohon hujan, bisiknya berkali-kali bagai mantra. Dan tepat ketika cairan bening itu menjelma air mata, rintik hujan datang satu-persatu seolah mencoba melipur pedih hatinya.
Gadis itu menaikkan kembali tudung hitamnya dan menatap satu titik di hadapannya. Satu titik yang ingin ia anggap tidak pernah tampak di matanya selama ia masih bernapas.
Pelan tapi pasti ia menyatukan kepingan tekadnya dan memantapkan langkahnya menuju titik itu. Ia memejamkan matanya menahan tetesan air mata yang menyatu derasnya hujan, sebelum akhirnya kakinya menyerah dan memaksanya untuk berlutut di sana. Mencium aroma tanah basah di hadapannya dan wangi bunga yang ditebar di atas pusara itu.
Nama itu tidak pernah terlihat sangat memuakkan jauh sebelum saat ini. Siapa menebak keadaan bisa membuatnya menjadi sangat membenci nama itu, sosoknya yang selalu tersenyum, tatapannya yang begitu meneduhkan, bahkan hembusan napasnya. Gadis itu benci semua hal indah yang ada padanya. Yang DULU ada padanya.
YOU ARE READING
Dark Encounter: The Unkind
FantasyManusia menyebut mereka Sampah... ...Pendosa... ...Tak berhati... ...Berdarah dingin... ...Monster... Makhluk-makhluk itu diam-diam tumbuh sesuai dengan "harapan" tersebut, sekalipun bibir mereka berkata tak peduli. Namun, sebagaimana makhluk berak...
