That Night

3.2K 305 9
                                    


Setelah makan malam usai, Adrian dan Bintang memisahkan diri terlebih dahulu.

"Kita permisi duluan, ya. Soalnya ada acara bersama pemain dan anggota lainnya," pamit Adrian. "Vi, jangan lupa antar bokap gue ke apartemen, ya."

Vivi yang mengetahui bahwa Adrian masih memiliki urusan dengan Bintang terlihat lesu. Dengan datar ia mengiyakan jawaban Adrian.

"Iya, Adrian. Ntar gue antar om Bernard ke apartemen lo."

Baru saja Adrian dan Bintang akan meninggalkan tempat, Bastian tiba-tiba bangkit.

"Bareng dong, gue kan juga anggota." Bastian menoleh ke Mia.

"Kamu ikut, Mia?"

"Ikut, Bas." Mia kemudian ikut bangkit. Masing-masing mereka berpamitan sebelum meninggalkan tempat.

Di perjalanan menuju Red Bar, di mana mereka akan merayakan pesta kecil usai pertunjukan, masing-masing mereka tidak bersuara. Hingga langkah mereka memasuki Red Bar, saat itu lah suasana hening mereka terpecahkan.

Adrian menarik Bintang untuk ikut dengannya beberapa saat.

"Ryan, kita mau ke mana?" tanya Bintang saat mengikuti langkah Adrian dari belakang.

Adrian tidak bersuara hingga langkah mereka berhenti di taman yang berada tidak jauh dari Red Bar. Saat langkah mereka berhenti, saat itulah Adrian duduk di salah satu bangku taman. Kepalanya mengadah melihat langit.

Bintang yang melihat sikap Adrian tidak biasa dari sebelumnya. Ia ingin bertanya, tetapi tidak menemukan kalimat yang tepat.

"Bee, are we okay?" tanya Adrian dengan kepala menunduk. Dari samping lelaki itu tampak murung.

"Aku gak tau, Ryan," balas Bintang terdengar lirih. Ingin rasanya ia jujur tentang perasaannya yang mengganjal, tetapi saat itu belum tepat waktunya.

Adrian menoleh ke Bintang. Saat Bintang menatap mata Adrian, tampak tatapan lelaki itu kosong.

"Tell me something I don't know, Bee. Aku gak ngerti diam kamu itu apa sekarang."

Terlalu banyak yang ingin aku bicarakan Ryan. "Gak ada yang ingin aku bicarakan, Ryan. Everything is fine. Aku hanya gak enak badan."

Bohong. Adrian tahu itu. Tetapi ia tidak ingin memaksa Bintang lagi. Adrian yakin, jika Bintang ingin berbicara padanya, pastia ia akan mendengarkan alasan mengapa ia begitu diam belakangan.

"Oke. I won't force you, Bee. But, please make sure that we are fine." Adrian memfokuskan dirinya pada Bintang. "Tell me that we are okay."

Bintang mengecup Adrian di pipi kirinya. "We are totally fine."

Mungkin Bintang dan Adrian saling melontarkan kalimat bahwa mereka baik-baik saja. Sebenarnya mereka tidak baik-baik saja.

***

Malam itu juga Bastian mengajak Mia ke suatu tempat. Ia memilih kafe yang berada tidak jauh dari tempat ia berada.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Bastian bersuara setelah mereka duduk dengan heningnya.

"Ngomong apa, Bas?"

Bastian menarik napas dalam-dalam. "Mia, aku aka bicara sekali saja, jadi kamu dengar baik-baik ya."

Mia tersenyum penuh harap. "Bicara apa emangnya, Bas?"

Saat melihat senyum Mia yang penuh harap nyali Bastian sempat mengecil, tetapi membiarkan dirinya berbohong dengan Mia adalah hal yang terburuk.

"Mia, jujur kenapa aku pilih UQ di awal karena aku tahu kamu apply di sini. Aku bohong sama papa kalau tujuanku di sini bukanlah kamu. So, that's the biggest reason why I am here."

Alis Mia terpaut, dahinya mengerut karena tidak mengerti ucapan Bastian. "Jadi, maksud kamu apa, Bas?"

"Aku akan kembali pada tujuanku. Dan tujuan aku dari awal adalah kamu itu salah, Mia."

Mia tersenyum sinis. "Maksud kamu...kamu udah gak bisa sama aku—kita putus?"

Bastian tidak bersuara. Membiarkan dirinya dan Mia mengerti dengan situasi mereka.

"Kali ini siapa, Bas? Bintang?"

"Ini bukan tentang Bintang, Mia. Ini tentang kita."

Mia berusaha agar tidak menangis. "Terus apa, Bas? And please, don't use that stupid excuse."

"Maksud kamu apa, Mia? Alasan papa aku itu stupid excuse? Papa punya alasan kenapa dia ngomong gitu. Asal kamu tahu gimana aku menghancurkan semuanya selama di Indonesia selama kamu pergi! You just go without looking back at me!"

"Jangan kamu kira aku gak tau, Bas. I know about you, every single time! Kamu sama cewek-cewek itu...itu alasan kenapa aku pergi! Aku gak tahan lihat kedekatan kamu sama mereka!"

Bastian menatap Mia tidak percaya. "Mia, they're just my partner. Teman kerja aku. You're jealous on nothing. Jadi, mereka alasan kenapa kamu pergi terlebih dahulu? Merusak semua rencana kita?"

"Benar kalau aku cemburu, tapi kamu tahu gak perasaan aku?"

"Kasih tahu aku gimana caranya biar kamu tahu di saat aku tanya kamu hanya diam. Please, Mia. Aku bukan Tuhan yang bisa mengerti saat seorang diam."

Saat itu tangis Mia pecah. Mia menangis tidak bersuara. "At some point, kamu memang benar, Bas. Tapi tetap aja..." Mia tidak menemukan alasan untuk menyalahkan Bastian.

Melihat Mia menangis mendorong Bastian untuk bangkit dari kursinya. Bastian duduk di sebelah Mia lalu merengkuh tubuh perempuan itu. "It's okay to cry."

"I ruined our dream, I hate myself so much," ucap Mia masih menangis.

Lengan Bastian berpindah di bahu Mia. "We still running our dream, Mia. Keadaan kita yang berbeda, selebihnya masih sama. Kita emang udah gak terikat dalam sebuah status, tapi kita masih bisa berteman, kan?"

Mia saat itu tidak punya pilihan selain menyetujui Bastian. Dengan berat hati Mia mengangguk. "I am sorry Bas, I really am." And still, I love you, Bas.

Brisbane: RunawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang