Friend

81.5K 6.3K 87
                                    

"Tumben lo mau kesini." Ali memukul-mukul beban yang yang ia gantung sebagai bahan latihan.

"Iya, cuma lo tempat gue pergi dari masalah." Aku membuang pandanganku ke lain arah. "Andai lo yang jadi pacar gue, lo pasti gak bakal nyakitin gue." Ucapku pelan yang dapat di dengar olehnya.

"Andai lo ngomongnya gak pas gue lagi keringeten udah gue cium lo." Aku menutup bibirku membuat dia terkekeh kecil. Pembantu di rumahnya datang membawakan dua gelas minuman.

Aku yang memang tak pernah malu dengan Ali langsung mengambil gelas berisi lemon tea itu. Kuteguk hingga setengahnya. "Sebenarnya elo atau gue yang haus?" Ali mengambil handuknya dan membersihkan wajahnya yang berkeringat.

"Gue mah kalau dikasih lemon tea pasti haus." Candaku.
"Lo tunggu disini, gue mau mandi dulu." Ali bergegas meninggalkanku. Tangannya mencolek pipiku membuatku merenggut marah karena tangannya penuh keringat.

Beberapa menit kemudian dia kembali dengan kaus hitam dan celana selutut. Ia mengambil lemon tea miliknya dan meneguk hingga tandas.

"Ayo berangkat." Ajaknya. Aku berdiri lalu berjalan mengikutinya. Kami menuju lapangan besar di dekat rumah Ali yang biasanya digunakan untuk olahraga oleh warga kompleks dan sekitarnya.

Ali menarikku ke dagang lumpia yang cukup ramai di kerubungi di pinggir lapangan. Ia memesankan dua porsi lumpia.

"Lo setiap hari olahraga tapi ujung-ujungnya makan berminyak, sama aja boong." Gerutuku. Ali mencomot tiga potongan lumpia sekaligus, yang menandakan dia tak peduli sama sekali dengan ucapanku.

"Uhuk....uhuk!" Ali memukul-mukul tengkuknya.

"Tuhkan keselek. Makanya, kalo dinasihatin tuh denger!" Aku memukul-mukul belakangnya. "Gue ambilin minum bentar." Aku meleset pergi mencari warung terdekat.

Saat ku kembali Ali masih berdiri ditempatnya. Wajahnya memerah karena kedepedesan. Kusodorkan air mineral digenggamanku. Dia langsung meminumnya dengan rakus.

Kami berjalan menuju tempat sampah dibawah pohon untuk membuang bungkusan lumpia. Air sisa dibotol tadi kupakai untuk mencuci tangan. Lalu menyusul Ali yang berjalan ke salah satu bangku kosong.

"Al." Panggilku. Ia tak menjawab namun berbalik menghadap wajahku. Sebelah alisnya terangkat.
"Lo mau gak bantuin gue?" Tanyaku takut-takut.
"Bantuin apa?"
"Fabian udah ngaku ke gue kalo dia gak bersalah. Dia mau peringatin Niken karena Niken sering ngebully Ratna, adik tirinya Fabian. Tapi malah dia yang kejebak sama cewek murahan itu." Jelasku pada Ali.

"Kapan lo putus sama dia?" Tanya Ali.
"Gak tahu, Al."
"Kalo masalah ini selesai."
"Hah?" Aku tak mengerti apa yang dia ucapkan.

"Janji sama gue, lo bakal putusin dia setelah gue berhasil buktiin kalo dia gak salah. Gimana?"
"Lo gak iklas bantuin gue?" Aku memasang wajah memelas padanya.
"Gue gak mau lo terluka atau terbeban lagi. Ngerti?" Ali menatap lekat wajahku. "Iya iya janji." Aku menggengam tangannya, tak lupa seulas senyum di wajahku, untuk menutupi betapa hancur hatiku. Kami kemudian saling diam, menikmati indahnya langit ungu, persembahan terakhir sang matahari.

***

Aku kembali ke rumah sekitar pukul tujuh malam. Keadaan rumah terlihat sangat sepi. Papa dan bunda belum juga pulang. Sedangkan Amanda tak kelihatan batang hidungnya. Padahal tadi bunda mengatakan kalau Amanda sedang sakit. Aku mengambil ponselku di saku jeans yang ku kenakan.

"Fabian." Ucapku.

"Hm?"

"Lo dimana?"

AlgenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang