16.

271 49 7
                                    


M i c h e l l e

Aku tidak mengerti kenapa kepalaku masih sakit sampai sekarang. Rasanya seperti ada manusia-manusia kecil yang berlompatan dan berteriak antar satu sama lain di dalam sana.

Aku membenamkan wajahku ke bantal lagi, jelas-jelas tidak bisa mendapat posisi tidur yang enak. Zayn sempat datang, tapi aku bilang aku sedang tidak bersemangat untuk bercanda tawa dengannya.

Mungkin aku sakit? Entahlah.

Ini bukan karena efek dari rumah hantu kemarin, itu tidak masuk akal. Ataukah tamu bulananku mau mengunjungiku? Tidak juga.

"Ya Tuhaaan," desahku, tidak tahan lagi. Beberapa obat sudah kuminum, untuk meredakan sakit kepala ini, tapi tidak ada satupun yang manjur.

Ayah dan Ibu baru saja pergi ke rumah teman mereka, dan aku berusaha untuk terlihat tidak sakit agar mereka tidak khawatir. Alhasil sekarang aku sendiri di rumah, tidak bisa meminta tolong pada siapa-siapa untuk menemaniku. Zayn pasti sudah pergi bersama tim basketnya. Si Bambi itu sangat menyukai olahraga itu, dan belakangan aku mengetahui kalau Liam adalah anggota timnya. Yaa sudahlah, itu tak penting.

Tommo? Entah dimana dia berada. Aku terlalu malas untuk meraih ponselku dan menelefonnya. Dia juga pasti sibuk bermain dengan adik-adiknya.

Saat aku masih berjubel dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba saja suara bel berdenting dari bawah, dan aku memutar bola mataku. Apakah orang itu serius memintaku untuk membukakan pintu? Aku sedang sakit, bodoh.

Tapi bel-nya tidak berhenti berdenting. Terus berbunyi, dan aku mengalah. Persetan dengan penampilanku yang acak-acakan.

Aku menuruni tangga sedikit berlari, meskipun kepalaku rasanya sakit sekali kalau berjalan. Sepertinya tangga rumah ini ada dua.

Akhirnya sampai di pintu, aku membukanya, dan coba tebak, siapa yang muncul.

REEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEENNNNNNNNN.

Aku masih tidak percaya bahwa kami sudah saling kenal sekarang, tapi tetap saja aku tetap menguasai diri.

"Eh, hai Ren," sapaku.
"Hei Michie. Sudah sehat?" Dia tersenyum, dan aku menahan diri untuk tidak mencubit pipinya.
"Masih agak pusing, tapi aku tak apa." Jawabku dengan jujur, "Ada perlu apa, Ren?"

Ren tertawa kikuk, "Zayn mengirimiku pesan bahwa kau masih sakit, dan dia tidak bisa menemani karena ada kegiatan tim basket. Louis bilang dia harus menemani adiknya sehingga tidak bisa datang juga. Mereka mengatakannya kepadaku karena ponselmu tidak aktif." Jelasnya, dan aku menaikkan satu alisku.
"Mereka memintamu untuk menemaniku?" Aku menebak. Ren mengangguk.

Dewi Fortuna, sebaik apapun dirimu, jelas aku tidak mungkin mengiyakan.

"Ahh, tak perlu. Aku baik-baik saja kok," Dengan refleks aku menggelengkan kepalaku, dan hasilnya malah terasa sakit sekali. "Aduh," Aku memijat pelipisku, dan bisa kurasakan tatapan Ren yang menatapku dari atas sampai bawah. Oke, rambutku berantakan. Aku memakai sweater abu-abu Zayn, dan celana tidur hitam panjang. Ditambah belum mandi ataupun sikat gigi. Hancur sudah reputasiku.

"Masuk, aku akan menemanimu." Ren mendorongku, dan aku balas mendorongnya, "Tidak, aku tidak apa-apa." Aku tetap bersikeras.
"Ini bukan tawaran, Michie. Masuk." Ujarnya dengan tegas.

Aku mengalah. Entah apa yang akan dikatakan Ayah dan Ibu kalau melihat ada sosok Ren Kingsley di dalam rumah ini.

"Aku akan menelefon Dylan untuk datang. Mau kuajak Selena dan yang lain?" Ren menyahut, sambil aku berjalan menuju ruang tengah. Saat sampai di sofa, langsung saja aku menjatuhkan diri di atasnya. Nyamannya berbaring.
"Yaa, boleh saja. Kalian sudah akrab ya?" Aku bertanya, tidak peduli lagi. Maaf Ren, kepalaku sakit sekali.
"Bisa dibilang begitu. Kau sudah makan pagi?" Ren bertanya, dan aku menggeleng. Ini lebih baik, dia tidak terlihat seperti seorang pebisnis, lebih seperti teman dekat. Aku mengatur posisi berbaringku, sehingga masih bisa melakukan kontak mata dengannya. Rasanya tidak sopan kalau memalingkan wajah.

Chasing Summer [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang