IPA & IPS - 5

470K 19.4K 439
                                    


Rifqi pulang lebih cepat dari biasanya karena dia dipulangkan dan mendapatkan skors dua hari. Tidak seperti biasanya, ayahnya berada di rumah. Rifqi memang sudah terbiasa tinggal di rumah sendiri hanya ditemani oleh pembantunya, Bik Susi. Semenjak Ibunya meninggalkannya tiga tahun yang lalu. Rumahnya serasa hampa, tidak ada kasih sayang yang diberikan oleh orangtuanya lagi. Rifqi memasuki rumahnya tanpa mengetuk pintu atau pun mengucapkan salam. Menemukan ayahnya sedang menonton berita di televisi.

“Kenapa sudah pulang?” tanya Ayah. Namun, Rifqi bertingkah seolah ayahnya tidak ada di sana.

“Ayah nanya sama kamu!” bentak ayahnya, kini Rifqi menatap ayahnya.

“Gak enak kan digituin? Itu yang saya rasakan selama tiga tahun,” ucap Rifqi langsung masuk ke dalam kamarnya.

“Rifqi! Ayah gak pernah ngajarin kamu gak sopan seperti ini!” bentak ayahnya kencang, namun Rifqi purapura tidak mendengarnya. Dia memasang earphone-nya ke dalam telinga, lalu memejamkan mata, menikmati lagu yang kini dia dengarkan.

***

Michelle mengikuti ekskul bernyanyi walau kebanyakan murid perempuan di sekolahnya memilih mengikuti ekskul Cheers. Dirinya memang suka bernyanyi sejak kecil.

Hanya ada belasan orang di ruang musik. Mereka bernyanyi, mengobrol, memainkan ponsel selagi menunggu Kak Nada, pelatih ekskul, datang.

Semua anak pun berhenti dari aktivitasnya masing-masing ketika Kak Nada datang. Tanpa membuang waktu, Kak Nada langsung menyentuh keyboard-nya.

“Kita mulai saja ya,” ucap Kak Nada.
Kak Nada pun mulai memainkan keyboard-nya mengiringi nyanyian mereka. Pemanasan vokal kali ini diisi dengan menyanyikan beberapa lagu daerah. Setelah pemanasan, mereka istirahat sebentar.

“Oke, jadi bulan depan kalian bakal tampil di acara pensi SMA Negeri Bandung, tetangga kalian, temanya itu Indonesia, kalian bisa atur-atur nanti saya bakal bantu,” ucap Kak Nada.

Mereka semua pun mulai berdiskusi untuk penampilan yang akan datang.

“Gimana kita atur dulu siapa yang alto dan siapa yang sopran,” ucap seseorang yang mulai berbicara.

“Kata gue sih ya, tergantung kaliannya aja enakan di mana,” ucap seseorang di samping kanan Michelle.

“Kalo kata gue sih ya, Rifa sama anak baru sopran, tadi gue denger anak baru nyanyi suaranya bagus di sopran,” ucap seseorang di sebelah kiri Michelle.

“Anak baru?” tanya Rifa.

“Iya ini yang di samping gue, siapa namanya?” tanya seseorang di sebelah kiri Michelle.

“Michelle,” jawab Michelle singkat padat dan jelas.

“Oke deh kalo begitu, nanti kita mix aja lagi daerahnya, sekarang kita latihan.”

Mereka semua pun mulai latihan kembali bersama Kak Nada. Mereka menyanyikan lagu daerah tiap pulau yang akan ditampilkan bulan depan. Ruang musik diisi oleh suara-suara merdu yang mereka hasilkan. Ditambah suara keyboard yang Kak Nada mainkan, sempurna lah penampilan mereka.

Latihan pun selesai. Kak Nada pamit pulang duluan, sedangkan yang lain ada yang pulang dan ada juga yang berencana ingin nongkrong dulu sebentar di ruang musik.
Michelle berencana untuk langsung pulang saja ke rumah.

“Michelle,” panggil Rifa saat Michelle sedang berjalan keluar dari ruang musik. Michelle pun berhenti, lalu berbalik arah.

“Lu Michelle Laurencia Hermawan?” tanya Rifa yang kini sudah berhadapan dengan Michelle.

“Iya kenapa?” tanya Michelle.

“Kita ngomongnya di kafe deket sini aja gimana? Biar enak.”

“Boleh-boleh.”

Mereka pun pergi menuju kafe tersebut. Letaknya tidak jauh dari sekolah, sehingga mereka bisa jalan untuk pergi ke sana. Kafenya lumayan sepi, namun memiliki hawa yang enak dan nyaman. Dekorasi kafenya sangat kekinian. Mereka duduk di pojok dekat jendela, tempat yang paling nyaman. Michelle meminum ice vanilla latte-nya, sedangkan Rifa meminum ice green tea latte-nya.

“Kok bisa tiba-tiba deket gitu sih sama Rifqi?” tanya Rifa.

“Ya gitu deh, awalnya tuh gue ngeliat dia nyerang Aldino gitu, terus ya dia bermasalah mulu sama anak IPA,” jawab Michelle sambil menikmati minumannya.

“Lu suka Aldino?” tanya Rifa.

“Enggak, kita temenan doang kok gara-gara sekelas,” ucap Michelle.

“Suka Rifqi?” tanya Rifa lagi.

“Enggak lah,” jawab Michelle.

“Gue suka Aldino.” Rifa memberitahu isi hatinya kepada Michelle. Michelle kaget, hampir saja dia kesedak oleh minumannya.

“Gue kenal Aldino tuh dari SMP, dia dingin ke cewek termasuk gue, gue berusaha dapetin dia, tapi gak kesampean juga. Dulu gue pernah ngungkapin rasa gue ke dia karena dia gak peka-peka, terus dia gak ngebales apa-apa, dia cuek banget.” Rifa mulai bercerita.

“Dia hangat ke elu, gue tahu kok kalian gimana di kelas, gue sempet cemburu sama lo, kenapa lo bisa mencairkan dia, sedangkan gue yang kenal lama gak bisa.” Air mata Rifa tiba-tiba menetes.

“Kalo lo tadi bohong ke gue, dan sebenernya lo suka sama dia, gak apa-apa ambil aja. Gue udah bahagia kok liat dia bahagia sama lo, meski pun hati gue tertusuk sangat dalam.” Air mata Rifa menetes semakin deras. Michelle pun memeluknya untuk menenangkannya.

“Sumpah gue sama dia cuma temenan, gak lebih, Fa,” bisik Michelle.

“Ta–tapi kalo dia berharap lebih, dan lo cuma anggep dia temen, sama aja lo bikin dia sakit. Gue gak mau liat dia sedih, tapi gue juga gak rela liat dia bahagia bukan sama gue,” ucap Rifa dengan isakannya.

“Udah, Fa, tar juga dia sadar kalo lu tulus mencintai dia.” Michelle mengelus-ngelus punggung Rifa.

Setelah air mata Rifa tidak berjatuhan lagi, Michelle kembali duduk di hadapan Rifa. Lalu membahas hal yang lain. Mata dan hidung Rifa masih terlihat merah, sangat terlihat jelas karena dia memiliki kulit yang putih.

“Hubungan antara kelas IPA dan IPS belum membaik dari dulu,” ucap Rifa.

“Gue pengen banget memperbaiki hubungan kita, cuma keadaannya masih panas.”

“Hal ini juga bikin gue gak bisa PDKT ke Aldino, dia kaya udah anti banget liat anak IPS,” lanjut Rifa.

“Kita perbaikin aja bareng-bareng gimana?” ucap Michelle.

“Tapi keadaannya masih panas, tadi aja baru ada tawuran di antara kelas IPA sama IPS.”

“Kita tenangin aja dulu. Lu tenangin kelas IPS, gue tenangin kelas IPA.” Michelle memberikan idenya.

“Oke deh.”

“Eh si Rifqi lucu juga yah PDKT ke elu,” ucap Rifa sambil tertawa kecil.

“Hah? Rifqi? PDKT?” Michelle tidak mengerti.

“Ya gitu deh lucu aja, sok-sokan musuhan taunya ada rasa,” ucap Rifa.

“Dih, nggak mungkin, lagian guenya juga gak ada rasa sama dia, dan dianya juga ga ada rasa sama gue,” ucap Michelle. Rifa tertawa.

Mereka menghabiskan waktunya di kafe tersebut hingga malam hari. Tawa dan cerita mereka bagi satu sama lain. Menikmati pemandangan bintang-bintang di langit yang gelap.

IPA & IPS (TERBIT & SUDAH DISERIESKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang