"Tips memilih topi sesuai bentuk wajah sudah ada di edisi BF empat bulan yang lalu. Apa kamu tidak tahu? Atau memang tidak mencari tahu?"

"..."

Tautan jemari Adelia semakin kuat, atasannya itu benar galak seperti yang dikatakan rekan lainnya.

"Kenapa tidak menjawab!" Indira membentak keras, tanpa sadar mata Adelia mulai berkaca-kaca.

"Sa—saya minta maaf karena tidak memastikannya dulu."

"Itu sebabnya aku tidak menyukaimu. Kamu bisa menolak perintahku kemarin, dan aku mungkin akan mempertimbangkannya lagi. Tapi yang kamu lakukan adalah mengiyakannya. Apa karena kamu lulusan luar jadi kamu merasa sangat mampu.

"Aku butuh anggota Tim yang pekerja keras. Bukan yang sombong!"

Yang dilakukan Indira jauh dari profesionalitasnya sebagai atasan, ia benar-benar mencampur adukkan emosi pribadinya, hingga menekan Adelia ke celah yang bagi orang pemikiran normal itu adalah kesengajaan.

"Ma—maafkan saya." Sebulir air mata langsung di seka cepat oleh Adelia.

"Keluar. Dan diskusikan lagi dengan Andika, saya ingin konsepnya dalam minggu ini."

Adelia segera memutar tubuhnya dan berlari keluar ruangan. Indira melihat kehebohan bawahannya ketika Adelia menunduk di meja sambil menangis, ia langsung menekan tombol dan seketika membuat kaca menjadi satu arah.

Kamu baru menangis karena hal sepele, dan aku menangisi kepergian kakakku setiap saat.

***

Sabtu pagi. Indira siap dengan rok di bawah lutut dan baju semi formalnya, ia tidak akan ke kantor melainkan menunggu di ruang boarding duduk dengan tangan bersila dan menatap yang menjadi fokusnya sejak tadi. Satria.

Ia terlihat tak memperdulikan sekeliling dan terus membaca buku tebal di tangannya. Indira harus mengangguk sesekali pada petinggi perusahaan yang lain yang juga akan melakukan penerbangan ke Bali atas undangan dari perusahaan. Indira mengambil dompet make up dari dalam tasnya, menyapukan lipstick merah yang kontras dengan wajah putihnya, dan menyemprotkan sedikit parfum ke badannya.

Tiba saatnya, Indira mengantre untuk masuk ke dalam pesawat, ia melirik boarding pass nya sekali lagi, ia berharap adanya keberuntungan untuk bisa sebangku dengan Satria, ia terus mengamini dalam hati hingga masuk ke dalam pesawat dan berjalan tepat di belakang Satria, pria itu tidak menyadari kehadirannya disana.

Satria sudah duduk di kursi sesuai nomor boarding pass miliknya terletak di sudut sebelah kiri pesawat, ia mengikuti peraturan perusahaan, meskipun Ayahnya menawarkan kelas bisnis padanya. Menurutnya ia datang sebagai Pemimpin Redaksi, bukan sebagai anak Ayahnya.

"Bisa bergeser, disebelahmu adalah kursiku."

Satria menutup bukunya dan menatap sekilas pada Indira lalu ia berdiri. Batin Indira membuncah senang ia benar-benar mendapatkan keberuntungannya kali ini, dengan gerak pelan ia duduk di kursi tepat didekat jendela.

Satria kembai duduk memakai sabuk pengaman dan membuka kembali buku tebalnya. Indira langsung mengubah airplane mode pada ponselnya dan memakai sabuk pengaman.

"Pantas saja kamu menganggap BF tidak berbobot. Bacaanmu terlalu berat sepertinya." Tatap Indira mengarah ke buku filsafat yang dibaca Satria.

Satria diam dan tak menghiraukan, ia malam membalik halaman buku yang telah selesai dibacanya. Inikah rasanya diabaikan pikir Indira, dan akan dilihatnya sejauh mana Satria bisa bertahan.

Indira tak mengalihkan tatapannya dari Satria hingga membuatnya merasa terusik namun ditahannya.

Tepat saat pesawat lepas landas Indira mencengkeram lengan Satria dan membuatnya menoleh kaget. Kening Indira berkerut dalam dengan mata yang terpejam. "Sebentar saja, aku begitu takut saat pesawat lepas landas seperti ini," ucap Indira sebelum Satria menyela, itu tidak dibuat-buat, Indira memang sangat takut naik pesawat, jika mengharuskannya biasanya ia akan meminum obat yang akan membuatnya tertidur sepanjang perjalanan, namun kali ini ia harus tetap terjaga demi tujuannya untuk menarik perhatian Satria.

Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang