9. Pendamping Hidup

8.8K 678 27
                                    

KIA:

Pukul tiga dini hari, aku dan Om Salman sudah menjejakkan kaki di lantai Rumah Sakit Perkebunan Jember atau yang mempunyai nama lain Jember Klinik. Kutelusuri koridor rumah sakit yang sepi ini menuju tempat Mama dirawat inap di lantai dua. Suasana kamar sangat remang-remang karena hanya diterangi oleh cahaya lampu dari luar kamar. AC kamar tidak terlalu dingin, suhunya berada di angka 29 derajat celcius. Langkahku sedikit melambat menuju ranjang tempat wanita yang paling aku cintai melebihi diriku sendiri sedang berbaring lemah. Kuusap perlahan pipi yang menampakkan keriput di berbagai sudut wajahnya, kubelai rambutnya yang mulai memutih, dan memberikan satu kecupan hangat di keningnya.

"Kiky kangen Mama," ucapku lirih.

Andra sedang tidur di sofa yang berada di samping ranjang. Dia sudah menyediakan karpet dan dua bantal untukku juga Om Salman di samping ranjang. Aku dan

Om Salman memutuskan untuk istirahat di rumah sakit dini hari ini dan akan pulang ke rumah besok pagi saja. Sebelum tidur kuambil ponsel yang sengaja aku matikan selama perjalanan dari Jakarta. Ada beberapa BBM dari Dastan yang bernada sangat khawatir kepadaku. Tak lama kemudian, di layar ponsel ada nama Dastan sedang mencoba menghubungi.

"Assalamualaikum, Tan?"

"Walaikumsalam. Syukurlah akhirnya aku bisa dengar suaramu, Kia. Gimana mama kamu?"

"Lagi tidur sekarang. Kamu sekarang istirahat juga ya, Tan. Aku baik-baik aja kok."

"Iya udah. Kamu juga istirahat ya. Assalamualaikum, Kia."

"Walaikumsalam."

Aku meletakkan ponsel ke dalam tas lalu mencoba untuk tidur. Lima belas menit telah berlalu, tapi mataku masih terbuka lebar. Aku belum juga terlelap. Di telingaku masih terngiang kalimat terakhir yang Dastan ucapkan di bandara. Tidak seharusnya dia mengucapkan rentetan kalimat yang cukup mengganggu pikiranku. Aku harus berusaha membuang jauh-jauh pikiran tentangnya.

Keesokan paginya, kepalaku terasa berat sekali, mungkin efek kurang tidur. Perlahan aku mencoba duduk lalu berdiri untuk melihat keadaan Mama.

"Udah bangun, Ma?" tanyaku lembut seraya mencium punggung tangan kanannya yang tertancap jarum infus. Mama hanya mengangguk lemas.

Selesai solat subuh, ponselku berbunyi, sebuah pesan BBM masuk. Kuraih ponsel dari dalam hand bagku.

DASTAN ALFARENDRA:

Pagi Kiara. Boleh nggak aku kangen kamu pagi ini? Maaf ya Kia kalo udah lancang kangen sama kamu.

Aku tersedak ludahku sendiri hingga terbatuk saat membaca deretan pesan BBM yang dikirim oleh Dastan. Menghindari kecurigaan Mama, aku bergegas memasukkan kembali benda tipis berwarna perak ini ke

dalam tas dan mengajak Mama berbincang, setelah mengambil posisi duduk di ujung ranjang ukuran untuk satu orang ini. Sambil berbincang, aku memberi pijatan ringan di kedua kaki Mama. Tubuhku di sini tapi pikiranku melayang memikirkan Dastan. No ... Aku menggeleng pelan untuk membuang pikiran anehku.

"Gimana workshop-nya? Lancar?" tanya Mama membuyarkan lamunanku. Syukurlah.

"Lancar, sih, Ma. Tapi kantor yang ditinggal malah yang berantakkan, huft." Aku mengembuskan napas agak kasar. Kuyakin Mama pasti mendengarnya dengan baik.

"Dastan siapa?" tanya Mama tiba-tiba. Aku terkejut bukan main saat Mama menyebut nama laki-laki yang sudah membuat pikiranku sedikit acakadul semalaman ini.

"Andra cerita kalau kamu kenalan dengan laki-laki bernama Dastan di Jakarta. Mama seneng akhirnya kamu mulai terbuka, Ki." Aku lupa kalau kami bertiga lebih dari sekadar ibu dan anak-anak. Kami bertiga adalah team, sahabat, teman suka dan duka. Pastilah Mama tahu tentang Dastan. Meski aku belum menceritakan, Andra pasti sudah terlebih dahulu menyampaikan hal itu kepada Mama.

Love At First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang