I

16.1K 517 32
                                    

|How Was Your Day In This Early Spring|

---

Lost inside a shadow
Erase the sins I've made
Heaven reward me with mercy on my fate
(Nights of Arabia)


---


Upacara pernikahan yang mereka gelar di Minggu pagi yang cerah sangat indah. Hari ketika langit tidak membawa awan, mentari pagi juga masih belum terlalu menyengatkan teriknya. Semuanya sempurna.

Semilir angin mengayun lembut daun yang berguguran di pengujung musim semi. Semarak aroma bunga tropis yang masih segar tak lupa menambah keceriaan di hari bahagia gadis bergaun putih itu.

Taman yang digunakan beralaskan rumput hijau, menguarkan bau segar setelah dipangkas. Bahkan ujungnya pun masih meneteskan embun. Di atasnya bertaburan berbagai kelopak bunga berwarna putih, pink, dan dominasi warna lembut lainnya yang sengaja mereka tebarkan.

Di bawah tenda berwarna baby blue sana, berdiri bersebelahan dengan pria yang aku cintai. Kami saling tersenyum di bawah kanopi yang terbuat dari jalinan bunga yang tumbuh di musim panas dan beraroma semerbak.

Ulasan tawa bahagia terpancar indah dari raut wajahnya, tidak menggoyahkan keyakinan untuk menatap masa depan bersama. Meskipun kelak ada ada banyak kerikil dan batu ganjalan yang menghadang.

"Apa kau bersedia—"

Dapat kudengar sayup kalimat sederhana yang terlontar dari bibir Father Collins. Ia bertanya apakah si pengantin pria mau untuk menjadi pasangan dari wanita yang berada di sebelahnya.

Tak ada suara apa pun selain embusan angin di udara pagi yang terasa sejuk di kulit. Mereka terdiam, seolah menghening dan menghayati kesenyapan yang tercipta.

Namun, suara itu cukup untuk menyadarkanku dari bayangan di pikiranku selama sesaat. Aku bisa melihat senyum lembut tersungging dari bibir merah gadis yang sedang terpesona dari tempatku berdiri saat ini.

"Iya, aku bersedia," jawab si pria yang memakai tuksedo hitam pekat itu.

Pria yang memakai jubah panjang dengan aksen hitam dan hampir berusia paro baya itu, kini berganti menatap wanita yang berada di sebelah kiri si pria. Father mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. "Apakah kau bersedia menerima—?"

Si pengantin wanita memotong kalimatnya, lalu menyahut dengan suara yang mantap dan tegas, "Aku bersedia."

Sinar matanya menyorotkan keyakinan sepenuh hati untuk mengubah status yang disandangnya sebelum mengikrarkan janji. Mengucapkan janji setia yang suci untuk mencintai sepanjang usia yang diijinkan Tuhan.

Senyum dan sikapnya benar-benar selaras. Apa lagi yang bisa kau harapkan jika mendapatkan pria seperti dia?

Terdengar klise memang, tapi aku tidak bisa tidak membayangkan seperti apa kelak jika aku berada di posisi yang sama dengannya. Apakah dia akan menjawab dengan keyakinan yang sama seperti yang selama ini aku inginkan?

Suara tepuk tangan yang meriah, sekali lagi membuka mataku untuk kembali menyaksikannya. Aku sendiri juga tidak menyadari bahwa mereka sudah saling melingkarkan cincin di jari manis masing-masing.

"Silakan dicium suaminya, atau istrinya. Yang mana sajalah. Yang lebih dulu menciumnya. Terserah pasangan, semoga kalian berbahagia," ujar sang MC.

Master of Ceremony mengatakannya dengan cukup lantang, suaranya menggelegar diiringi gelak tawa para saksi serta undangan yang hadir.

Itu keinginanku. Impianku.

Acara yang ditunggu para gadis akhirnya datang. Melempar buket bunga pengantin. Dulu aku tak terlalu peduli dengan hal-hal semacam ini, jika bisa menangkap buket maka hampir bisa dipastikan, untuk berikutnya penerima buket itulah yang akan menikah.

***

"Tak seharusnya kau termenung seperti itu, Rafe," ujar suara di belakangku.

Aku mendongak dan menolehkan wajahku ke arahnya. Sesosok pria dalam balutan jas Armani hitam sedang menyunggingkan senyum dan berjalan mendekat ke arahku. Sepupu tersayangku, Nico.

Aku tertawa miris mengingat apa yang sering kami katakan sejak dulu. Sejenak aku kembali mengingat saat-saat yang paling menyenangkan ketika kami bercanda tentang hidup. Ketika kami bertiga dalam mencari jati diri kami. Namun, itu sebelum semua hal gila datang dan membuat kami merasa asing.

"Kau sendiri bagaimana kabarmu, sepupu?" Aku kembali menghadapkan wajahku ke arah sepasang pengantin yang sedang berbahagia itu.

Gaun yang Lizzy kenakan berkibar dalam terpaan angin. Ia berdansa dari satu pria ke pria yang lain. Oh, bukan kebanyakan pria. Hanya ayahku, paman serta para sepupu kami yang lain.

Gladevyn tidak akan menyukai pemandangan Lizzy dalam pelukan pria selain yang kusebutkan tadi. Pria itu posesif sekali terhadap istrinya. Dia akan menghajar siapa pun yang berani menyentuh Lizzy. Dan anehnya, Lizzy menyukai hal itu. Aku bergidik membayangkan sepupuku menyukai hal-hal yang berbau masokisme.

Sebersit rasa tak suka perlahan menyelinap di hatiku. Namun sengaja kualihkan perhatian ke yang lain agar tidak terlalu memikirkan perasaan yang seperti itu. "Tidakkah kau juga menginginkan hal yang sama? Sepertinya kita juga perlu melakukannya, Nic."

Ah, bukan. Aku sebenarnya iri pada senyumnya yang tak pernah berhenti melebar. Dia jarang melakukan hal itu sebelumnya. Sudahlah, yang penting asalkan Lizzy bahagia, itu sudah cukup bagiku.

Nico menyeretku ke tepian, ke meja terdekat yang menyediakan minuman. Kami duduk di kursi bar dan memesan tequila untuk sepupuku. Nico yang melakukannya. Aku tak ingin mabuk di jam sepagi ini, jadi cukup dengan mojito saja.

"Jadi... Apa kabar Amerika? Elle? Kau sudah bertemu dengannya?" cecarku.

Aku tahu tak seharusnya menanyakan soal wanita itu. Biasanya jika ada yang menyebut namanya, Nico akan diam lalu pergi. Dia tidak menyukai pembicaraan tentang wanita yang pergi meninggalkannya.

"Tidak. Aku belum berhasil menemukannya. Dia seolah menghilang. Sengaja tak ingin ditemukan. Aku hampir menyerah padanya. Jika bukan karena aku yang sangat mencintainya, mungkin akan lebih mudah aku melepaskannya. Aku-" jelas Nico yang langsung kupotong.

Wajahnya menyiratkan sendu. Kancing teratas kemejanya sudah terbuka. Dasi hitam yang lebih pantas untuk menghadiri pemakaman sudah tersimpan di sakunya. Penampilan Nicolas tak jauh berbeda dengan pria yang dulu pernah datang mengiba dan menangis di hadapanku.

Aku tidak menyukai wajah pedih sepupuku yang kembali hadir setelah beberapa waktu menikmati kebahagiannya. Mungkin aku salah karena menyeretnya datang ke sini. Tidak seharusnya aku meminta Nico menemaniku, hanya karena aku tak ingin terlihat miris setelah putus dengan Marcus.

"Tak apa, Nic. Aku akan membantumu. Aku akan meminta beberapa temanku di sana untuk mencari tahu keberadaan wanita yang nyatanya sudah berhasil membuatmu bertekuk lutut," tegasku.

Dan kami saling terdiam memandang semua yang ada di depan kami. Namun sepertinya ketika semua larut dalam tawa, dalam hati kami menangis merindukan sosok yang akan kami cintai selamanya.

***

Nyatanya yang berdiri di sana bukanlah aku, melainkan sesosok yang mirip denganku. Aku dan dia bukanlah orang yang terlahir kembar, melainkan sepasang saudara yang cukup unik. Kami bersepupu, tapi entah mengapa secara fisik, wajah serta bentuk tubuh kami hampir mirip.

Ketika usiaku masih sekolah dasar, banyak yang mengira kami saudara kembar. Malah tidak jarang pula, para guru salah menyebut nama kami. Begitu seterusnya hingga aku dan Lizzy-sepupuku itu--memasuki sekolah menengah pertama. Karena semenjak saat itu pula kami berpisah dan memasuki sekolah yang berbeda.

"What a day, Liz," lirihku.

***

One Night Marriage (unedited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang