FORTY TWO: 'Til We Meet Again

1.8K 200 37
                                    

Eveline's Point of View
(Belum pernah ada di buku ini... gatau kenapa lagi pengen aja.)

Ada kalanya, yang dulu mengejar, kini lelah dan memilih untuk menjauh. Menjauh dalam arti menyerah. Menjauh dalam arti melepaskan. Menjauh dalam arti merelakan.

Kata-kata, perlakuan pedas dari Niall membuatku sadar bahwa sebaiknya aku menjauh darinya. Toh, dia mungkin tidak memaafkanku. Aku akui, perbuatanku tempo lalu memang salah. Tapi, memangnya itu sepenuhnya salahku? Bukankah Nick yang lebih dulu menciumku?

Aku sangat tidak menyukai sikap Nick yang hilang begitu saja setelah membuat badai dalam hidupku. Aku tahu aku yang menyuruhnya pergi. Tapi dia bisa mencoba menjelaskan semuanya ke Niall. Mungkin kalau ia melakukan itu, Niall bisa memaafkanku.

Tapi yasudahlah, sudah terjadi. Akupun sudah memutuskan untuk menyerah. Untuk menghargai diriku sendiri sebagai wanita yang tidak boleh mengemis-ngemis cinta kepada lelaki.

Itu prinsipku.
Yang sudah kulanggar gara-gara Niall.

Perihal Jake, dia selalu ada di sisiku belakangan ini. Semenjak aku pulang ke Canada, Jake selalu ada setiap hari di rumahku. Dia selalu muncul bagaikan penghibur pribadiku.

Aku tidak bodoh.

Aku bisa merasakan kasih sayang yang diberikan Jake padaku itu lebih dari sekedar teman, lebih dari sekedar rasa sayang seorang kakak ke adiknya. Aku hanya berpura-pura tidak mengerti karena aku bingung ingin berkata apa pada Jake.

Tidak mungkin kan, aku menyuruhnya menjauh? Karena aku sendiri membutuhkannya sebagai seorang sahabat, tapi aku juga tidak bisa menerimanya sebagai seorang kekasih.

Selama ia belum mengajakku berbicara tentang perasaannya, lebih baik aku berpura-pura tidak tahu.

***

"Maka.. Aku akan membuat usahanya sia-sia. Kita akan memulai dari nol lagi. Aku akan membuktikan padamu kalau aku bisa memperlakukanmu dengan lebih baik. I know i can treat you better, Eve. Apa yang aku lakukan memang salah, sangat salah. Maka aku akan mencoba menebusnya."

Aku meneteskan airmataku begitu mendengar ucapan Niall. Bukan hanya ucapannya yang terdengar sangat tulus itu, tetapi juga ekspresi wajahnya yang begitu memancarkan harapan.

Ya Tuhan.. Niall baru saja mengucapkan kata-kata yang sangat ingin kudengar keluar dari mulutnya satu bulan yang lalu.

Ya, satu bulan yang lalu. Disaat aku masih sangat mengharapkannya. Tapi lama kelamaan harapanku padanya sudah pupus. Dan aku sudah tidak sebegitu menginginkan ucapan ini.

Bukannya aku sudah tidak mencintainya. God, I love him so much. Tapi hatiku sudah lelah. Hatiku satu bulan yang lalu memang sangat ingin kembali bersama Niall, sampai aku rela mengemis cinta padanya. Tapi hatiku yang sekarang sudah tidak begitu. Ia sudah hancur berkeping-keping mendengar kata-kata Niall yang pedas dulu.

Wajahnya yang sangat tampan itu menyiratkan kesedihan, juga harapan. Aku ingin mengangguk, berkata iya, dan memeluknya sekarang juga. Tapi aku tahu aku tidak bisa. Aku masih memiliki respek terhadap diriku untuk tidak mudah terpancing kata-kata lelaki.

"Jangan menangis..." ujar Niall pelan. Ia berpindah duduk di sebelahku dan memelukku.

Ya Tuhan.. betapa aku merindukan pelukan hangatnya ini. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tenggelam dalam pelukannya. Untuk beberapa saat saja, aku membiarkan diriku dipeluk oleh seseorang yang sangat aku rindukan.

Setelah merasa cukup dan ketegaranku sudah berkumpul kembali, aku menghapus air mataku. "Aku.. butuh waktu.. dan jarak. Aku minta kau memberikanku itu. Sampai jumpa, Niall," kataku. Kemudian aku melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan.

Change // n.hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang