13

4.2K 401 26
                                    

"Untuk Union Trinity. Kau adalah ancaman, Benjamin."

Ancaman?

Suara Aleta bergema di pikirannya. Memukul kepala Ben bak palu godam raksasa, menyadarkan dirinya tengah tercebur ke dalam samudra.

Samudra? Laut? Ben tersentak. Mendapati dirinya tengah melayang di dalam air yang dingin. Begitu dingin hingga menusuk kulit, seakan mematikan saraf perabanya. Meronta dalam kegelapan bawah air dan arus air yang menarik tubuhnya semakin dalam, Ben menggerakkan tangannya gusar mendapati tubuhnya terasa kaku dan lengannya yang serasa putus. Alih-alih mengapung ke permukaan, justru ia semakin jatuh. Sebelah tangan Ben menjangkau ke segala arah. Namun tak ada satu pun yang dapat ia jadikan sebagai pegangan.

Ia merasa beban tubuhnya meningkat berkali-kali lipat hingga untuk menggerakkan kaki saja ia tak sanggup. Panik, Ben seketika mengembuskan udara terakhir yang memenuhi mulutnya. Menyebabkan pasokan penunjang kehidupan dalam paru-paru Ben semakin menipis. Yang ketiadaannya menjerat leher Ben selayaknya seutas tali baja tak kasat mata.

Air menyerbu masuk ke lubang hidungnya, menyerap kesadaran Ben hingga pandangannya mengabur.

"Ben!"

Chan? Layaknya sebuah potongan film, adegan saat Chan melemparkan tubuh menghalangi peluru yang Aleta tujukan padanya seakan menghantam keras dada Ben. Dalam sekejap mata merenggut sesuatu tak terlihat di dadanya dan meninggalkan sebuah lubang yang menganga besar. Terampas. Berakhir hanya menyisakan sesak yang begitu mendalam di ulu hatinya. Ben kehabisan napas.

Ia semakin jauh tertelan dalam kegelapan samudra yang luas, di suatu tempat entah di mana, kedalamannya terlalu mustahil untuk mencapai permukaan. Bias cahaya berasal dari tempat terakhir yang ia datangi—kapal itu—makin tak terlihat pandangannya.

Rontaan badannya terhenti begitu air mulai memasuki rongga dada, menyumbat paru-parunya. Memenuhi kehampaan itu dengan kedinginan tak berujung yang menyakitkan. Badannya tak mampu bergerak.

Hitam. Kelam. Hampa. Gelap. Dingin.

Kelopak mata Ben perlahan menutup. Apakah aku akan mati? Inikah kematian?

"Ben, kau terlambat!"

Chan?

Napas Ben tersengal. Ia melihat Chan. Chan yang selalu membangunkannya setiap pagi. Tetapi bukan Chan yang biasanya. Chan terbaring penuh genangan darah. Leher Ben semakin tercekik. Tangannya terulur, menggapai-gapai apa pun yang berada di sekitarnya.

"Sudah saatnya kau bangun, Benjamin Gideon."

Di tengah keputusasaan yang melandanya, Ben menunduk. Merapatkan matanya yang terpejam, Ben melemaskan tubuh. Atau... ia memang sudah lemas sejak awal?

Jika ini yang disebut kematian, apakah di sinilah aku akan berakhir?

Grep.

Sekelebat, hanya sekelebat Ben merasakan sesuatu menggapai tangannya. Menyelubungi tangan dinginnya dengan suatu kehangatan asing yang kuat dan mantap, sesuatu itu menariknya. Namun Ben sudah lebih dulu tertelan kegelapan yang sangat pekat.

"Aku mungkin tidak akan selalu ada untuk membangunkanmu, Ben. Kau harus berubah."

***

"Chan!" Kesadaran menyentak Ben begitu keras. Ia terperanjat dan menghirup napas dalam-dalam. Nyeri hebat menerjang bahu kanannya hingga ia sama sekali tak mampu sekadar menggerakkan lengan. Ben mengerang kesakitan.

Peluh memenuhi tubuhnya. Mata abu-abu Ben mengerjap perlahan seraya menyesuaikan pencahayaan ruangan asing tempatnya berada.

"Kau sudah bangun rupanya. Selamat sore, Tuan Gideon. Er—bagaimana harus kupanggil?"

REBORN (#1 Act)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang