8

3.4K 353 5
                                    

Chan berlari sekuat tenaga. Kaki kecilnya yang lecet menapaki reruntuhan gedung tinggi di kotanya yang saat ini tak lebih dari seonggok beton tak berguna, rata dengan tanah. Meloncati besi-besi panas yang bengkok, dan udara panas yang melingkupi kota kelahirannya. Di kanan kiri, setiap sudut kotanya dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan. Terbakar, tertembak, atau terjepit reruntuhan.

"Kapal, naik kapal. Kapal. Tolong."

Hanya ada satu kapal induk pangkalan laut yang singgah itu dapat membawanya pergi dari daratan yang disebut benua, yang tak lagi bisa dihuni. Kemana pun tak masalah. Ia harus pergi. Ayahnya harus berjuang di medan pertempuran dan memercayakan keluarga pada dirinya yang masih kecil, sedangkan keluarganya tak terselamatkan lagi. Sebulan, dua bulan, ayahnya tak pernah kembali.

Mereka kelaparan, kehabisan bahan makanan dan sakit. Chan harus tetap tegar saat pulang dari mencari sebungkus roti untuk keluarganya meski yang ditemukannya adalah sang ibu yang memilih gantung diri bersama adik perempuannya di reruntuhan pengungsian.

Tidak ada yang mampu berbuat banyak, semua orang kehilangan harapan. Semua orang kehilangan jiwa.

Chan berlari. Meski pandangannya berkunang-kunang dan perutnya mencengkeram. Anak itu berlari menuju pelabuhan.

Sebuah kapal besar terlihat di pandangan buram Chan. Menerbitkan senyuman yang selama ini hilang dari wajah kotor anak itu. Chan terengah-engah, meski kakinya serasa akan putus ia tetap berlari. Ribuan orang menggerombol untuk menaiki kapal penyelamat itu. Anak laki-laki bertubuh ceking itu menyelinap dengan mudah untuk sampai ke depan.

"Tunjukkan identitasmu."

Chan tidak mengerti apa yang dikatakan orang asing itu. Seseorang mendorong keras Chan minggir, membuat tubuh lemahnya tersungkur. Pria yang lebih tua itu berusaha menerobos penjagaan sang orang asing. Belum sempat menginjakkan kaki di jembatan menuju pintu masuk kapal, orang itu sudah tertembak mati. Chan membelalak. Merangkak mundur ke belakang, ia sangat kebingungan.

Chan sudah tak punya tenaga. Ia lapar dan kelelahan berlari seharian. Matanya semakin buram. Tangannya meraba-raba dan ia tak kuat untuk tak menangis.

Tepat saat ujung jarinya menyentuh sebuah sepatu, Chan langsung memeluk kaki pemiliknya erat.

Ben yang sedang bersama neneknya menunggu Amari Coleman mendata para pengungsi yang ingin naik kapal induk, memutuskan melihat-lihat sebentar keluar kapal. Ayah dan ibunya adalah seorang pejuang. Beruntungnya keluarga para pejuang mendapatkan jaminan keselamatan serta pengungsian ke daratan baru.

Sebagian besar daratan menjadi sasaran perang nuklir dan radiasinya sangat membahayakan untuk dapat ditinggali kembali. Perang tidak menyisakan apa pun kecuali kehilangan dan kesengsaraan bagi semua orang.

"Pergi kau, Bocah. Singkirkan tangan kotormu dari sepatuku."

Pemandangan menyesakkan seorang petugas yang memukuli seorang anak lusuh menghentikan langkah Ben. Tidak tahan dengan jerit kesakitan anak itu, Ben mendorong petugas itu sekuat tenaga hingga tersungkur.

"Kau baik-baik saja?" Anak itu gemetaran. Ben mengulurkan tangannya. "Di mana orangtuamu?"

Anak itu sepertinya tidak mengerti ucapannya. Ben mengisyaratkan tangannya dengan menunjuk sepasang suami istri terdekat. Anak itu menunduk, isyarat yang Ben tahu pasti. Dunia mungkin telah berakhir bagi sebagian orang, tapi bagi Ben masih ada sebuah harapan untuk memulai yang baru. Untuk sekarang, tidak ada yang dapat mengawali jika setiap orang masih tidak peduli dengan sesama.

"Hey, Kau!"

Ben berdiri, menghadapi petugas itu. Diliriknya Amari yang berjalan ke arahnya begitu mendengar keributan. "Dia bersamaku dan Amari Coleman. Biarkan dia masuk atau kau yang tidak akan naik."

Mendengar nama Amari Coleman disebut, petugas itu terdiam.

"Apa ada masalah di sini? " Amari menyela. "Ben?"

"Tidak, Sir."

Ben tersenyum puas lalu membawa anak itu bersamanya setelah mendapat anggukan Amari.

"Ben, namaku Ben," ucap Ben memperkenalkan diri, membantu anak itu memanjat naik kapal.

"Chan."

Ben mengernyit. Anak itu menunjuk dirinya sendiri. "Chan. Namaku Chan."


REBORN (#1 Act)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang