33

9.1K 453 3
                                    

Satu jam sebelum Melody menelfon.

Didalam kamar Rangga yang luas. Cowok yang semalaman suntuk tidak bisa tidur akibat menahan sakit. Kepalanya serasa ingin pecah malam itu, saat sudah mengantar Melody, Rangga akhirnya tersungkur dilantai kamarnya. Entah, mendadak dia pusing berat. Dia ingin menelfon dokternya, tapi gagal karena tangannya bergetar. Obatnya sudah habis, dan parahnya tidak ada setetes air putih pun didalam kamarnya. Dia ingin sekali teriak saat melihat jam dikamarnya menunjukkan pukul 2 malam, tapi niatnya urung, takut mengganggu dan membuat Sendra khawatir.

Tubuh Rangga sedikit menggigil, wajahnya pusat pasi, mirip sekali dengan mayat hidup. Keringatnya bercucuran deras, lebih tepatnya keringat dingin. Padahal dia tidak kegerahan karena AC yang disetel cukup kencang sampai menerpa sedikit rambutnya yang jatuh ke mata. Rangga benar-benar lemas pagi ini, dia menelfoni Melody berkali-kali tapi tidak juga diangkat. Hapenya lalu dibanting di atas kasur, matanya menatap langit-langit rumah. Penglihatan yang kabur, sungguh.

Rangga resah, tentu saja. Karena kemarin malam dia janji ingin menjemput Melody. Semoga saja pacarnya itu berangkat dengan Eza dan tidak terlambat masuk kekelas. Rangga tau hari ini jadwal masuk guru killer dikelas IPA 2. Entah sejak kapan Rangga memperhatikan jadwal pelajaran Melody, yang jelas dia tidak ingin Melody kena marah atau semacamnya. Karena kalau sampai iya, Rangga tidak terima.

Tok. Tok. Tok.

Pintu kamar Rangga diketuk kasar. Mungkin diluar sana ada Sendra, mengingat pagi ini harusnya Rangga sudah bersiap di meja makan.

"Rangga, belum bangun ya." Seru Sendra. Bukannya Rangga tidak menjawab, hanya saja bagian tubuhnya benar-benar lemas dan rapuh. Matanya berkunang-kurang, dia seakan melihat kabut yang gelap.

"Rangg.." Klek. Sendra masuk kedalam kamar Rangga saat itu juga.

"Astagfirlullah.." Sendra berlari secepat kilat menuju kearah Rangga yang sudah lemas menyandarkan punggungnya dibagan kasur. Kakinya terbentang lemas, dan tangannya sedikit memijat kepalanya sendiri untuk memfokuskan penglihatan. Sendra memandang Rangga nanar, tangannya menyentuh dahi Rangga yang dingin, wajahnya semi abu-abu. Panik, lebih dari itu. Saat Sendra ingin berteriak kepada Reno, bunyi dari hape Rangga langsung mengalihkan perhatian. Tertera nama 'Ezarlie' disana.

Tek.

"Hallo Ngga.."

"Hallo." Jawab Sendra setengah panik. Lebih panik lagi saat dia mengetahui itu bukan suara Eza, melainkan suara Melody.

"Eh, tante."

"..." Mulut Sendra terbungkam begitu saja saat melihat mata Rangga meneteskan sebulir air mata. Kepalanya digeleng paksa, seperti isyarat untuk tidak mengatakan apapun kepada Melody. Entah, bagaimana bisa Rangga tau kalau yang menelfon itu Melody. Mungkin Rangga sudah terlalu hafal dengan ekspresi mamanya saat berhadapan atau berbincang dengan Melody.

Rangga takut Melody khawatir, benar. "Rangga gak ada." Ujar Sendra kemudian. Tek. Hapenya ditekan end paksa.

Sendra kemudian meneruskan aksi teriakannya pada Reno.

---

Ruangan bercat putih menjelma menjadi neraka. Sendra semerta-merta memohon tapi tidak didengarkan, "jangan paksa diri anda bu. Anda sudah berusia cukup tua untuk melakukan hal ini. Anda sendiri masih membutuhkannya." Begitu kata Dokter Reyhan. Sendra sendiri merasa pening memikirkan Rangga yang tergeletak lemas diruang ICU. Darahnya tidak bisa didonorkan, Ya Tuhan. Bagimana? Sendra sudah mencari kepenghujung pelosok negeri untuk mencari golongan darah yang sama dengan Rangga. Tapi tidak bisa, tidak ada yang sama. Dia harus bagaimana!

Sendra berjalan, melewati semua celah dan ruangan pasien di dalam Rumah sakit. Kakinya sedikit lemas, wajahnya juga pucat karena terlalu khawatir.

Kakinya kini menginjak ruang ICU. Mengintip sebentar kemudian masuk. Rangga sudah sadar, tadi anaknya itu memang sempat pingsan. Sendra mendekat, duduk dikursi dekat ranjang pasien milik Rangga. Rangga tersenyum, tangannya dengan infus memegang punggung tangan Sendra. Sendra juga membalas dengan senyum, lebih tepatnya senyum yang cepat pudar.

"Ma, Rangga gakpapa. Are you oke mam?"

"I am fine. But you?" Sendra memegang balik tangan Rangga. Wajahnya sudah basah, iya, dia tidak sanggup lagi menahan tangisnya sejak di ruangan dokter tadi.

"Fine mam, dont cry. Pliss." Rangga mengusap air mata Sendra pelan. Tangan kirinya memegangi pipi mamanya yang sudah berlinang air mata. "Jangan sedih ma, Rangga mau mama senyum. Semangatin Rangga, bukan nangisin Rangga kayak gini. Anak mama ini kuat. Kan Rangga cowok." Ujar Rangga membuat Sendra mengangguk.

"Rangga gak akan kenapa-kenapa ma? Kalau pun kenapa-kenapa, Rangga masih punya mama yang bakal ngelindungin Rangga. Ada papa juga." Tambahnya membuat Sendra mengangguk lagi. Kali ini dengan mantap. Ranggapun tersenyum, sedetik kemudian mendengar hapenya bergetar dimeja.

Pesan masuk. Dan langsung dibuka dengan tangan setengah lemahnya.

Dari 'Ezarlie' : Woy, lo dimana? Buruan ke belakang gedung perpus. Melody berantem sama fans lo.

Rangga melototi hapenya. Tubuhnya bangkit, duduk dikasurnya dan kembali menatap layar hape saat Eza menge-bom sms.

Ngga! Lo dimana sih. Buruan ih. Melody dikeroyok!

Oy tuyul. Cepetan kesini! Gue gak bisa bantuin nih. Firza lagi manggil guru BK buat nolongin Melody.

Njir lo bolos apa gimana sih! Tai. Buruan Melody keburu babak belur.

Astaga Rangga!!!! Melody masuk BK!!!

Rangga terhenyak dan spontan melepas selang infusnya dengan kasar. Hapenya dibanting dikasur dan sedikit mengumpat kasar. Sendra yang bingung langsung membentak Rangga karena khawatir anaknya jatuh pingsan lagi.

BRUKKKK!!!

Rangga terjatuh, tersungkur dibawah kaki kursi. Kelapanya berat lagi. Sendra berjongkok, meneriaki semua manusia bernama suster dan dokter dari dalam ruangan. Sendra panik, lebih dari itu. Rangga menangis lagi, nafasnya sesak mendadak, dan tangannya bergetar hebat.

Rangga menunjuk hapenya yang dibanting dikasur, Sendra mengikuti tatapan Rangga yang langsung mengambil hapenya. Sekilas dibaca, Sendra berdegub. Entah kenapa, rasanya dia juga khawatir dengan anaknya yang lain. Melody.

Sendra membanting hape milik Rangga. Wanita itu meluruskan pikiran, dia benci Melody, berkali-kali dia meyakinkan hatinya seperti itu. Melihat Rangga yang tak berdaya dan memuncak kekesalan, Sendra akhirnya angkat kaki. Tapi sebelum itu tangannya sudah dihadang oleh Rangga.

"Ma, Rangga gak pernah minta apa-apa dari mama..." Buliran air mata Rangga menetes lagi. Sendra semakin berdegub. "Buat hari ini, satu kali, selametin Melody, Ma. Bawa Melody pulang kerumah, marahin semua manusia yang jahatin Melody.." Tambah Rangga membuat Sendra menahan nafas. Dia tau anaknya itu sedang menahan pusing yang parau, bibir bawah Rangga digigit paksa sampai sedikit menorehkan darah dibibir merahnya. Pucat pasi, sangat, Sendra benar-benar tidak bisa tinggal diam.

Sendra menarik diri, tidak tega melihat Rangga yang seumur-umur tidak pernah dilihatnya menangis. Tapi tangannya tidak bisa pergi lagi, karena Rangga semakin terisak dan memekik nama Melody berulang kali.
"Help me, pliss."

***

Part yang agak Melow. Rangganya cengeng ya, hihi. Gakpapalah ya, kan namanya juga lagi sakit, pake banget. Wajar!

REASON [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang