Oktober 2015 - Kehilangan

72.7K 5.7K 111
                                    


NO EDIT. Maapkan yaa, ini ngetik sekali duduk, karena lagi suntuk banget sama kerjaan, eh main ke wattpad. Kalau nemu typo atau ada kalimat yang nggak nyambung kasih tau aja,hehehe.

Aya

***

Hari ini rapat direksi berlangsung di kantor pusat Hanan Group. Semua orang menunggu kedatangan Arga yang tidak biasanya telat. Di kalangan karyawan, Arga terkenal disiplin dan jarang sekali terlambat.

Harris pun sedari tadi sudah mencoba menelepon atasannya itu tapi nihil. Beberapa saat kemudian, ponsel Harris berdering membuat semua pasang mata menatapnya.

"Baik, Pak, nanti saya informasikan kepada yang lain."

Semua orang menebak hal yang sama, kalau yang menelepon Harris pasti Arga.

"Pak Arga memohon maaf, meeting hari ini harus dibatalkan karena ada urusan mendadak."

"Urusan mendadak apa?" tanya Sebastian, salah satu pemegang saham terbesar di Hanan Grup yang juga masih memiliki hubungan darah dengan Arga.

Harris tampak ragu untuk memberitahu, tapi nanti juga berita ini akan tersebar di media massa.

"Mertua Pak Arga baru saja meninggal..."

***

Oriana yang tadinya tidak ingin pulang, terpaksa harus menaiki pesawat paling pagi di hari senin. Berita itu datang bagai mimpi buruk ... Kondisi mamanya drop tiba-tiba dan dokter segera memberi tindakan kepada ibunya.

Mamanya sekarang dalam masa kritis.

Semua keluarga sudah berkumpul di depan ruang operasi. Oriana datang belakangan bersama Arga.

Saat tahu kabar daru ayah mertuanya, Arga berinisiatif untuk menjemput Oriana di bandara.

"Mama, kenapa, Pa?" Oriana mendekati papanya.

"Tadi malam masih baik-baik aja. Mama minta dibeliin donat almond kesukaannya, dan papa suruh Wira untuk membelikannya. Mama lahap sekali memakannya dan kemudian tidur... tapi jam tiga pagi, Mama terbangun, tubuhnya gelisah dan dia bilang sakit di jantungnya..."

Oriana rubuh memeluk papanya.

"Dokter pasti bisa menyembuhkan Mama, Na," Papa berusaha tegar. "Kita berdoa yang terbaik untuk Mama."

Arga menarik tangan Oriana agar duduk. Digenggamnya tangan Oriana yang sedingin salju karena hanya itu yang bisa Arga lakukan untuk mengurangi rasa takut dan kecemasan yang kini membayangi Oriana.

"Keluarga Ibu Liliani..." di depan ruang operasi, dokter memanggil.

Papa yang duduknya paling dekat, langsung berdiri. Wajahnya berusaha tenang dan mencoba siap dengan apa pun yang nantinya akan diucapkan sang dokter.

"Kami sudah berusaha. Mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa Ibu."

"Mamaaa ...." Oriana teriak. Dia tidak peduli lagi pada situasi rumah sakit. Teriakan itu berubah menjadi isakan yang tertahan, ketika selimut putih menutupi wajah mamanya.

"Riana..." Papa merangkul Oriana, membiarkan kepala anaknya itu rebah di bahunya. Papa hanya memanggil namanya dan papa tidak melanjutkan ucapannya.

Dengan cara seperti itulah, mereka berbagi kesedihan.

***

Ini adalah pertama kalinya Arga melihat Oriana benar-benar rapuh. Istrinya itu tidak menangis tersedu-sedu ketika jenazah mamanya di kebumikan. Bahkan ketika para tamu mengucapkan bela sungkawa padanya, Oriana terlihat baik-baik saja.

Dan, kenyataannya semua sikap kuat yang ditunjukan Oriana hanyalah sebuah kepalsuan. Di dalam kamar mandi, Oriana mengurung dirinya dan memilih nangis berjam-jam seorang diri.

Oriana sama sekali tidak ingin berbagi kesedihannya dengan orang lain, pun dengan Arga, suaminya.

Ada sesuatu yang mengganjal di ulu hatinya, ketika Oriana benar-benar menutup dirinya.

Arga menghela napas panjang... siapa dia? Berharap Oriana berbagi kesedihan dengannya?

Yang Arga baru sadari kemudian, dia tidak suka melihat Oriana sedih seperti sekarang. Lebih baik Oriana menatapnya penuh kebencian dibanding dia harus melihat mata cantik itu terluka karena kehilangan yang dalam.

"Oriana ..." panggil Arga. "Kamu belum makan dari pagi. Kita makan dulu," bujuknya.

Arga merapatkan telinganya di daun pintu. Tidak ada suara tangisan, hanya suara air kran yang mengucur kencang. Pikirannya bercabang kemana-mana... Arga segera keluar mencari mertuanya, untuk meminjam kunci serep tapi suasana rumah Oriana yang ramai mengurungkan niat Arga.

Dia kembali ke kamar dan memilih mendobrak pintu kamar mandi—memasang aba-aba dan dengan bahunya mendorong pintu sekuat tenaga tanpa memikirkan rasa sakit yang menjalar perlahan di tubuhnya.

Di dalam bath up, tubuh Oriana terendam air dengan mata terpejam. Arga mengambil handuk tebal yang terlipat rapi di lemari kecil khusus perlengkapa mandi. Dibentangkannya handuk itu, lalu dengan kedua tangannya... Arga mengangkat tubuh Oriana yang basah kusup dan membawanya ke atas ranjang.

Arga tidak memikirkan apa-apa lagi, yang dia khawatirkan hanya kesehatan Oriana. Oriana tetap tidak terbangun. Dengan susah payah, Arga melepaskan setiap helai baju yang melekat pada tubuh istrinya itu. Satu per satu tanpa terkecuali hingga tubuh Oriana terpampang polos di hadapannya.

Arga menutupi tubuh Oriana dengan selimut tebal lalu mengambil pakaian bersih untuk dipakai Oriana.

Sedetik, Arga mengagumi tubuh mulus istrinya. Tapi sebuah kesadaran menghentaknya ... yang dia lakukan saat ini tak lebih dari menolong Oriana.

"Oriana ... bangun," bisik Arga selesai dia memaakaikan baju untuk Oriana.

"Uhmm..." Oriana hanya mendesah. Lalu air matanya mengalir lagi.

Arga menarik napasnya. Tidak tahu, yang akan dia lakukan nanti benar atau salah. Tapi keinginannya mendorong dia untuk melakukan sesuatu yang seharusnya sejak tadi dia berikan pada Oriana.

Sebuah pelukan.

Arga berbaring di sisi Oriana lalu merenggangkan tangannya untuk mendekap Oriana dengan erat hingga kepala Oriana berada di dadanya.

Diciumnya puncak kepala Oriana. "Jangan nangis lagi..."

***

Oriana's Wedding Diary (Akan Tersedia Di Gramedia 8 Mei 2017)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang