2. Pemeriksaan

1.7K 330 16
                                    

Degup jantungku meningkat. Aku sama sekali tidak siap. Kali terakhir inspeksi, kapal dan mesin yang kuperbaiki tidak dapat dialiri sihir sama sekali, persis seperti inspeksi sebelumnya dan sebelumnya dan sebelumnya lagi. Tidak perlu kukatakan lebih detail. Akibatnya buruk. Sangat buruk.

Sudah tidak terhitung banyaknya cambuk sihir yang pernah mengiris urat tubuhku. Bekas-bekas itu memang sudah lenyap, tapi rasa sakitnya masih membekas. Sakit, panas, dan mati rasa selama berhari-hari, belum lagi bekas yang tidak hilang selama berminggu-minggu hasil dari cambuk sihir selalu menjadi trauma yang membekas di kepala setiap manusia, tak terkecuali aku.

"Hei, rileks saja!" Edward menyikut rusukku. Berbeda denganku dan budak-budak lain, Edward berusaha terlihat santai, meski aku tahu dia juga sama tegangnya dengan kami semua sekarang ini. "Kita sudah memperbaikinya dengan baik, oke? Aku sudah mengecek semua bagian termasuk yang kau betulkan, tidak ada masalah."

"Terakhir kali juga begitu. Tidak ada masalah sampai masalahnya benar-benar datang."

Edward memicingkan mata, paham bahwa aku sedang mengungkit-ungkit masalah yang timbul terakhir kali aku ikut memperbaiki kapal udara. Saat itu seluruh tim yang bekerja bersamaku harus dihukum karena kapal udara yang kuperbaiki tidak bisa dialiri sihir sama sekali. Kapal itu tidak akan bisa dijalankan dan kami semua harus pulang dengan punggung penuh luka cambuk.

Itu menjadi kali kesekian aku mengacaukan perbaikan dan menjadi awal ultimatum serta gelar mekanik terburuk yang tersemat padaku sampai sekarang.

"Kalau kali ini perbaikannya gagal lagi, aku bisa dijual!" desisku, menyebut ultimatum mengancam itu dalam cemas. "Aku akan berakhir di pelalangan budak dan bekerja di tempat lain sebagai pekerja kasar di jalan dan jembatan, jadi pemecah batu di tambang emas, atau bisa jadi lebih buruk dari keduanya!"

Edward tertawa, tapi tawanya terdengar dipaksakan. "Kau terlalu khawatir, Adik Kecil. Kali ini akan berbeda. Aku sudah mengecek semuanya baik-baik. Percaya padaku."

Tidak, Edward. Aku menyangkal dalam hati. Jika kedua mataku sakit lagi nanti, tidak akan ada yang berbeda.

Tidak ada keberanian tersisa dalam diriku untuk mengatakan kebenaran itu pada Edward. Kejujuran hanya akan membawaku ke serentetan pertanyaan yang tidak siap terjawab.

Hentakan sepatu membuatku tersentak kembali ke kenyataan. Seorang penyihir berpakaian serba putih dengan tanda pangkat satu bintang perak di kedua pundaknya meniti anak tangga ke ruang kemudi.

Ketua Pengawas.

Rutinitas biasa. Ketua Pengawas memang adalah satu-satunya yang berhak mengetes dan menguji kelayakan kapal, kendaraan bermotor, kualitas baja tempaan, apapun yang kami dari Serikat Pandai buat. Tapi aku mendapati kami semua masih saja menelan ludah dengan kasar ketika waktu inspeksi tiba. Napas setiap pekerja tertahan saat anak tangga yang dinaiki pria berambut cepak itu satu per satu semakin pendek. Seharusnya kami juga menunduk di saat ini, tapi tidak ada satu pun dari kami yang pernah sanggup melakukannya. Terlalu banyak kegelisahan menumpuk di dada kami untuk mematuhi peraturan satu itu.

"Biarkan aku yang mengetesnya, Tuan Frederic."

Suara itu menggema di seluruh hanggar ketika Ketua Pengawas hanya tinggal selangkah lagi dari pintu kapal. Suhu panas dari mesin-mesin uap turun dengan tajam. Suara dari doa-doa dan kecemasan yang menggantung di udara kini senyap. Sunyi sama sekali. Kepala semua orang, bagai digerakkan oleh tali temali marionette, bergerak ke satu arah yang sama secara bersamaan. Mata penasaran kami menatap ke arah pintu masuk tenggara hanggar, pintu masuk yang dilewati pekerja maupun pengawas setiap pagi dari arah penampungan, atau dalam kasus ini, kemungkinean dari pusat kota.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang