Butterfly's Sleep (ch. 0)

24.3K 692 15
                                    

PROLOG

Ia bisa mendengarnya, suara deru napasnya sendiri ketika membelah malam, berlari di antara jalan setapak yang berada di antara bangunan bertingkat yang amat rapat. Tingkahnya persis seperti kucing yang baru saja mencuri potongan ikan dari dapur seorang nenek sihir, dan sialnya tindakan tersebut berhasil diketahui hingga si nenek sihir memerintahkan pasukan untuk terus mengejarnya.

            Padahal tidak, ia mana pernah mencuri. Walau intinya sama saja, dirinya tengah melarikan diri dari tempat yang disebut ‘dasar neraka’. Di tempat itu ada seorang perempuan yang bisa dengan bebas mengayunkan pukulan, menikamnya dengan kata-kata yang kasar, dan... tidak tahu. Mungkin ketakutannya berada di ambang batas hingga ia memutuskan untuk lari.

            Langkahnya beradu dengan suara langkah lain. Dua orang penjaga yang biasanya mondar-mandir di depan rumah kini balik menguntit. Mereka adalah pria bertubuh tinggi dengan otot kekar di balik pakaiannya yang rapi. Ia tidak ingat jam berapa saat itu, tapi di kota kecil begini jarang ada orang yang berkeliaran malam hari untuk bisa menolong.

            Kecuali ketika ia berbelok memasuki jalan kecil, seseorang menangkapnya.

            “Hey!” Orang itu berseru karena ia baru saja menubruknya dengan keras. Keduanya terpelanting jatuh ke tanah, dan ia mengaduh dalam tangis yang tak bersuara. Dirinya tak tahu siapa orang ini, tapi yang jelas jadi tidak melanjutkan umpatannya karena melihat keadaannya yang lebih menderita. “He-hey?” Kemudian nada bicaranya berubah menjadi khawatir.

            Di antara kegelapan itu ia menengadahkan pandangan, menemukan seseorang yang hingga kini menjadi satu sosok yang tak tergantikan untuknya. Mereka terdiam sebentar, namun begitu suara derap langkah para penjaga lain, orang itu segera menariknya untuk bersembunyi.

            “Ssst...” satu jari ditaruh di depan bibir, menyuruhnya untuk diam dan berhenti terisak. Ia menutup mulut dengan satu tangan. Mereka bersembunyi di balik bak sampah besar yang sangat bau. Seekor kucing kemudian menjadi penyelamat karena berhasil mengalihkan perhatian dua penjaga tadi. “Fuuuh...” lalu si penyelamat yang lain menghela napas panjang. “Apa yang kau lakukan sampai mereka...” ucapannya terhenti, “loh, sepertinya kita pernah bertemu?”

            Ia tidak begitu ingat, namun ketika mengernyitkan pandangan untuk melihat sosok orang ini lebih jelas, dirinya tahu sesuatu. Satu-satunya orang di antara kerumunan yang berteriak ketika ia jatuh dari balkon seminggu yang lalu. Ralat, bukan ‘jatuh’ tapi ‘dijatuhkan’. Nenek sihir itu cukup gila untuk melemparnya hingga beberapa hari kemudian, sampai hari ini ia harus merelakan satu tangan tak bergerak karena terbalut gips.

            “Oh, ya...” tapi ia tak menjawab. Ada seberkas rasa malu bercampur takut. Dirinya tak tahu apakah orang ini cukup baik untuk peduli waktu itu, tapi memang wajah ini selalu menampakan kekhawatiran yang sama. “Terima kasih,” kemudian kata itu diucapkan, dan ia bersiap melengos pergi.

            “Kau mau ke mana?”

            Aku tidak tahu—jawabnya dalam hati. Sungguh, ia tak tahu mau ke mana.

            “Tunggu,” lalu orang ini menariknya kembali. Ia mengernyit karena tangannya yang masih sakit ditarik. “Oh, maaf. Tapi dahimu terluka,” ucap orang ini lagi sambil menunjuk satu titik di pelipisnya yang memang nyeri. “Dan kau berdarah.”

            Ya, aku tahu. Ia selalu berdarah, hampir setiap hari. Tapi apa yang bisa dilakukan? Melawan? Mana sanggup.

            “Ikut denganku,” anehnya daripada mengabaikan, orang ini malah mendorong agar ia bergerak ke arah yang ditunjukkannya. Lalu menggandeng tangannya yang lain pelan-pelan.

            Keduanya berjalan tak begitu jauh, memasuki gang demi gang, kemudian berbelok ketika masuk melalui pintu belakang sebuah bangunan tua. “Sst...” indikasi untuk diam lagi. “Orang tuaku mungkin sudah tidur, dan aku tidak bisa membawamu naik ke kamarku di atas karena aku tidur dengan adik-adikku.”

            Lalu? Ia hampir bertanya, tapi memutuskan untuk tetap diam.

            “Duduk di sini,” orang itu menepuk sebuah bangku kayu yang berbentuk seperti panggung kecil berlapis karpet tipis. Ruangan ini gelap, tapi dari peralatan yang ada di sana ia tahu kalau ini adalah sebuah dapur. “Aku akan mengambil kotak obat, tunggu ya.” Setelah mengucapkan itu lalu sosok itu menghilang.

            Dirinya tahu tempat ini cukup aman, tapi ketika ditinggal sendiri begitu, ketakutannya datang lagi. Bagaimana kalau pintu masuk yang tertutup di sana tiba-tiba terbuka dan orang-orang tadi menyeretnya kembali ke ‘dasar neraka’ itu? Bagaimana kalau ternyata ini adalah jebakan yang disiapkan si nenek sihir? Bagaimana kalau...

            “Hey,” lamunan itu pecah ketika orang tadi kembali. “Apa yang kau pikirkan?”

            Buru-buru ia menggeleng. Rasanya takut sekaligus gugup. Namun begitu orang ini kembali, dirinya merasa seribu kali lebih aman hingga menghela napas panjang sambil bersandar ke dinding.

            “Tenang saja, orang tuaku tidak akan bangun. Oh ya, kenapa orang-orang tadi mengejarmu? Kau kabur dari rumah?” Ia mengangguk sebagai jawaban. “Karena mereka memperlakukanmu dengan kasar?” Ia mengangguk lagi. “Itu keterlaluan,” kata orang ini dengan dahi mengerut ketika menunjukkan wajah sebal. “Apa kau melakukan sesuatu yang salah?”

            Ia tidak yakin apa yang salah dengan kelakuannya.

            “Tidak,” hingga hanya itu yang bisa ia katakan. “Tidak tahu,” tepatnya.

            “Tidak apa-apa, di sini kau aman.” Orang ini tersenyum sambil merekatkan plester di dahi. Senyuman itu membuat kedua matanya melebar. Tunggu, sudah berapa lama ia tak melihat yang seperti ini? Ketika seseorang tersenyum padanya, dan bilang bahwa ia berada di tempat yang aman. Tidak pernah rasanya.

            Hal itu membuat ia merasa lega, sangat lega. Dirinya lalu melebarkan senyum, dan orang ini tertawa. “Aku tahu, wajahmu lebih baik kalau senyum begitu,” dan ucapan itu membuatnya tersipu hingga hanya bisa menunduk.

            Namun tiba-tiba kegelapan datang. Begitu ia mengangkat kembali pandangannya, pintu terbuka dan orang-orang tadi datang.

“Tunggu! Apa yang kalian lakukan? Ini rumahku, heh!”

            Ia meringkuk di belakang penyelamatnya ini. Sayang, tanpa banyak bicara kedua orang tadi dengan mudah merebutnya kembali. Mereka menjauhkan dirinya, mengembalikannya ke ‘dasar neraka’. Wanita itu bahkan sudah siap menyambut di muka pintu dengan cambuknya. Siap menerkam bagai seekor singa buas yang baru saja mendapat hasil buruan.

            “Tolong!” Ia berteriak, ketika salah satu dari dua orang tadi memanggulnya dengan kasar di pundak. “Tolong aku!”

            Sosok itu semakin mengecil, semakin menjauh.

            Tidak... tidak... ia tidak mau kembali ke ‘dasar neraka’ itu! Ia hanya ingin tetap bersama dengan orang itu di tempat yang aman.

*

Butterfly's SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang