Perpisahan Pertama

34 0 0
                                    

Aku menatap buku di depanku dengan tatapan kosong. Aku bingung harus memberi jawaban apa pada kolom cita-cita. Saat ini pelajaran Pengembangan Diri dan semua murid diwajibkan untuk menuliskan cita-cita mereka.
Dari dulu aku memang selalu bingung setiap ditanya tentang cita-citaku. Sewaktu SD aku pernah berpikir untuk menjadi Guru, itupun karena meniru temanku yang mempunyai ayah seorang Guru. Pernah pula bercita-cita ingin menjadi seorang Pelukis karena aku merasa setiap pelajaran Seni Kriya aku selalu mendapat nilai bagus.

" Kamu pengen jadi apa, Wi? " tanyaku pada Dwi, teman sebangkuku.

" Bingung. Kamu?", tanya Dwi balik.

Aku menarik nafas pelan sebelum akhirnya menjawab, " Bingung juga.."

Pada akhirnya aku menuliskan " Ingin membahagiakan orangtua " . Tidak peduli bagaimana respon Guruku nanti saat membaca tulisanku ini. Hahaha

***

" Ris , ada sms dari Mbak Okta. Katanya dia berangkat ke Semarang siang ini " Ratih menghampiriku sambil menunjukkan pesan singkat di hpnya.

Aku terkejut kemudian membuka hpku sendiri.

1 Pesan belum terbaca

Buru-buru kubuka dan ternyata itu dari kakakku.

From : My best Sist

Ris aku berangkat ke Semarang hr ini. Doain aku sukses ya, km jgn nakal. Sekolah yg bnr, jaga diri baik2. Jgn buat ibuk sm bapak marah. Syg km :*

Aku merasa mataku memanas tetapi aku mencoba untuk menahannya. Aku malu jika harus menangis di depan teman-teman sekelasku. Yang aku inginkan saat ini hanyalah cepat pulang.

Aku merasa kehilangan semangat saat ini juga. Membayangkan hari-hariku akan terasa sepi tanpa kehadiran Mbak Okta membuatku lemah seketika. Aku masih bergumul dengan berbagai macam pikiran di otak sampai tidak menyadari kalau Dwi sudah duduk di sampingku.

" Kenapa Ris? Kamu sakit?" Tanya Dwi.

Aku menoleh lalu tersenyum paksa. " Nggak papa, aku kebal kok jadi nggak bakal sakit," candaku.

Dwi menatapku agak lama. " Kamu nangis, ya? " tebaknya.

" Enggak..tapi hampir nangis" jawabku lirih.

"Kenapa?" Dwi menatapku penasaran.

" Kakakku berangkat ke Semarang, Wi. Setelah 17 tahun bareng, akhirnya dia pergi ninggalin aku sama Bapak Ibu. Ya aku ngerti dia pergi buat kerja, tapi rasanya kayak ada yang beda gitu. Biasanya berantem, tiap hari ketemu tapi sekarang udah nggak bisa. Aku lebay ya?" tanyaku sambil mengusap airmata yang mengalir di pipiku.

Dwi menggenggam tanganku erat lalu berkata, " Riskiii kirain kenapa. Yang namanya keluarga  Ris, salah satu anggotanya nggak ada pasti kerasa banget. Aku juga ngalamin kok, waktu kakakku pergi ke Jakarta. Cuma yaa.. Aku nggak terlalu kehilangan banget. Mungkin karena dari dulu kita emang jarang ngumpul. Udahlah, kakak kamu kan pergi buat cari uang. Buat nyenengin keluarga kamu. Jangan nangis, dong. Harusnya kamu support kakak kamu biar dia juga semangat buat kerja. Oke?" nasehat Dwi panjang lebar.

Aku tertawa sambil melepaskan genggaman tangannya. " Iyee Dwi yang terhormat. Makasih udah dengerin curhatan aku sama nasehat kamu barusan. Tapi nggak usah genggam tangan aku segala, aku masih normal," ejekku yang dibalas dengan  cubitan keras di lenganku.

Walaupun jauh didalam hatiku aku masih saja ingin menangis...

***

Aku memasuki rumah dengan cepat kemudian berlari menuju kamarku.

" Mbaakk aku bawa cireng lho, " seruku sambil membuka pintu kamar. Tapi tidak ada siapa-siapa didalam sana. Kosong.

Deg.

Aku teringat kalau Mbak Okta sudah berangkat ke Semarang. Airmataku menetes tanpa bisa ku tahan. Aku naik ke atas ranjang kemudian meringkuk memeluk teddy bear ungu milik kakakku. Biasanya setiap aku pulang sekolah aku selalu menemukan Mbak Okta sedang tidur sambil memeluk boneka ini, atau Mbak Okta sedang di ruang tamu sambil menonton FTv kesukaannya. Biasanya.. Biasanya.. Berbagai macam kebiasaan kakakku melintas di memori otakku. Membuat tangisanku berubah menjadi isakan-isakan kecil.

" Nduk, " Sebuah elusan di rambutku membuatku berhenti menangis. Tanpa menolehpun aku tahu orang di belakangku ini adalah Ibu.

" Jangan nangis, Ibu tahu kamu sedih pisah sama kakak kamu, tapi jangan kayak gini.  Nanti kalau Mbak Okta tahu dia malah ikutan sedih. Ra ilok, kamu harusnya seneng. Kakak kamu udah bisa kerja, besok kalau kamu udah lulus kan bisa nyusul dia, " Ujarnya sambil terus mengelus-elus rambutku.

" Jadi Mbak emang udah berangkat, Bu? Enggak bohong kayak biasanya?" Tanyaku lalu teringat kebiasaan usilnya yang selalu membohongiku.

" Enggak. Mbak berangkat tadi jam sebelas. Bapaknya Kiki dapet telfon dari anaknya yang tertua, katanya Mbak Okta sama Kiki dapat panggilan kerja . Besok harus datang ke pabriknya. Jadi yaa berangkat hari ini. Ibu yang nganter tadi," Jelas Ibu dengan suara bergetar. Ah, pasti Ibu juga sedang menahan tangisannya.

" Bapak mana, Bu?", tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

" Bapakmu ke sawah. Dia nggak tega katanya lihat Mbak Okta berangkat,"

Mendengar jawaban Ibu, akupun terisak kembali.

***

Membosankan? Maaf :(
Ini cerita pertamaku. Bukan cerita cinta ya, tapi cerita tentang keluarga.. Jadi maaf kalau mungkin kalian nggak suka sama ceritaku ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 25, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HARAPANWhere stories live. Discover now