KEPING EMPAT

46.3K 3K 303
                                    

"Dingin gini makan bakwan enak kali ya, Fris?" ujarku saat kami berdua tengah menikmati waktu luang dengan duduk bersantai di ruang tengah. Frisca menemaniku mengerjakan tugas kuliah sambil menonton tayangan kartun anak kecil yang berteman dengan seekor beruang.

Aku menoleh ke arah Frisca karena dia diam aja dan nggak merespon ucapanku. Wajahnya terlihat serius. Bahkan, aku melihat genangan air mata di kedua pelupuk matanya.

"Frisca." Panggilanku membuatnya terperanjat. Dia mengerjap lebih dulu, lalu menoleh padaku.

"Are you ok?" tanyaku lagi.

Frisca mengangguk lemah. Akan tetapi, hal itu malah membuatku semakin khawatir. "What's going on?"

"Nothing is going on."

"Baru kali ini aku lihat orang yang nonton Masha and the Bear sampai nangis."

Frisca tertawa kecil sambil menghapus lelehan air matanya. "Hal ini yang aku suka dari kamu. I love the way when you makes me smile no matter what mood I am into."

Aku menatap Frisca heran. Kesambet apa dia tiba-tiba bicara seperti itu?

"Jangan ngelihatin aku kayak gitu!" erangnya sambil mendorong pipiku.

Aku terkekeh sambil mengacak rambutnya dengan gemas. "Besok jadi cek kandungan?" tanyaku lagi.

"Besok dokter kandungannya praktik pagi."

"Emang kenapa kalau praktik pagi?"

"Besok hari Senin, kamu lagi UAS, kan?"

"Ohh, iya!" seruku, baru mengingat hal itu. "Yah, aku nggak bisa nemenin kamu. Nggak bisa lihat baby-nya, dong. Padahal aku selalu nungguin setiap waktunya cek kandungan."

"Cek kandungannya bisa diundur minggu depan, kok."

Aku menatapnya penuh harap. "Emangnya bisa diundur?" tanyaku.

Frisca mengangguk, kemudian menyandarkan kepalanya di pundakku. Sejak kejadian pulang dari karaoke beberapa hari lalu, hubungan kami semakin membaik. Kami menyadari bahwa perlu kerja keras berdua untuk membuat pernikahan ini berhasil, terlepas dari apa pun hasilnya nanti.

"Bar, emang kamu nggak capek, siangnya kuliah terus malemnya kamu kerja jadi pramuniaga di minimart? Belum lagi hari Sabtu- Minggu kamu masih kerja juga jadi steward di hotel?" tanya Frisca.

"Kalau dibilang capek, pasti capeklah, Fris. Tapi selagi aku masih muda, masih produktif, masih punya tenaga untuk kerja, kenapa nggak aku manfaatin. Daripada nongkrong nggak jelas, mendingan aku pakai waktunya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, kan? Lagipula, sebagai seorang suami, memang kewajiban aku untuk menafkahi kamu. Lelahnya aku pun menjadi berkah ketika aku menjalaninya karena lillah."

Frisca mendongak dan menatapku lama. "Tapi kamu jangan terlalu capek. Sempetin waktu untuk istirahat. Badan kamu bukan robot yang nggak butuh istirahat. Aku nggak mau kamu sakit nantinya."

Aku terkekeh seraya menarik kepalanya dengan lembut dan mendaratkan ciuman tepat di ubun-ubunnya. "Pasti ada waktunya untuk istirahat, tapi bukan sekarang. Waktu istirahatnya nanti, setelah aku pensiun. Menikmati hasil kerja keras sewaktu masih muda dan menikmati hari tua dengan istri dan anak cucu."

Frica semakin mempererat pelukannya di tubuhku. Dia menyesap aroma cologne murahan yang ternyata mampu membuatnya ketagihan dan selalu ingin berada di dekatku. Satu hal yang kusuka dari istriku ini adalah, dia manja dan paling senang dimanjakan. Dia membuatku selalu merasa dibutuhkan.

Elegi Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang