CHAPTER 8

39K 5.1K 516
                                    

Matahari pukul setengah delapan pagi yang menerobos melalui kerai ruang asrama mulai menunjukkan kekuasaannya. Menyengat dengan intensitas agak kuat, membuat Damar bergerak gelisah di atas kasurnya.

Yaelah ... kesiangan lagi, batin Damar. Beginilah yang terjadi jika Igor, alarm yang paling bisa diandalkan Damar, pergi.

Damar mengerjapkan mata dan merasakan keringat bercucuran di pelipisnya. Ia lupa menyetel kembali pendingin ruangan paska bangun subuh tadi. Udara Jakarta panas sekali. Tak peduli masih pagi, ada kalanya cuaca menjadi musuh sejati. Diraihnya remote yang terdapat di sisi kiri tempat tidur, menyalakan, lalu menurunkan suhu udara sampai enam belas derajat. Sesaat kemudian, embusan angin sejuk yang ditiupkan air conditioner meredam kegelisahan yang dirasakannya sejak bangun pagi.

Damar resah, ditolehkannya kepala ke tempat tidur Igor yang tertata rapi. Pemiliknya sudah berangkat kemarin subuh, terbang menuju Aussie bersama kontingen yang siap berlaga di Australia Super Series. Menghela napas dalam, menyadari bahwa untuk pertama kalinya ia tertinggal—bukan lebih tepatnya terpaksa tidak diikutkan—dalam rombongan pembela tanah air yang berangkat. Semua ini terjadi karena persetujuan Koh Wawan, atas rencana pemulihan yang dipaparkan Aluna dua hari yang lalu. Ingin rasanya Damar membekap mulut gadis cantik yang dengan yakin menunjukkan rencananya. Tapi, apa daya Damar, otaknya selalu tertinggal jauh di belakang saat Aluna mulai bicara. Ternganga. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Dan, saat ia sadar dengan isi pembicaraan, keputusan telah dijatuhkan dengan matang. Damar enggan, menggeleng beberapa kali, tapi titah Koh Wawan lebih kuat dari penolakannya. Ditambah bujukan Igor agar Damar bisa pulih seperti sedia kala. Damar bisa apa?

Getaran ponselnya mengalihkan lamunan, Damar meraih ponsel dan mendapati pesan singkat dari Igor.

Igor: bro, wismilak ya. ngadepin Thailand. jam 2 siang paling cepet tanding.

Damar: pasti bisa. *emot cium

Igor: *emot muntah

Damar: cie ... saking senengnya dicium ... ampe muntah ... hamil ye, bro? tokcer dong gue.

Igor: ooh ni, pas pulang ke jkt buruan ngadep bokap nyokap gue ya, lo. tanggung jawab!!!

Damar: aman, beb. ati2 mainnya ya, awas keguguran. PS: itu anak pertama kita apa yang ke berapa, beb? lupa owe.

Igor: jahad masnya! kebanyakan tebar berudu sih. eh ... gue mau briefing dulu ama kokoh, dadah dulu, ya...

Damar: sukses, bro. bawain gue medali. *aamiin

Menghadapi Thailand, musuh yang biasanya cukup gampang untuk dikalahkan. Namun, kali ini kemenangan pasangan racikan dadakan Koh Wawan—Gerry menggantikan posisi Damar sebagai pasangan Igor untuk sementara—tidak semudah itu untuk dipastikan. Tapi, kearifan Koh Wawan memang benar melegenda, tak sedikitpun beliau menargetkan agar Igor tetap pulang membawa medali.

Damar melangkah ke luar kamar setelah mandi kilat dan merapikan rambutnya asal-asalan. Dengan sandal jepit favoritnya, ia berjalan menuju hall latihan. Tangan kirinya menenteng sepatu, sebelah kanan memanggul tas raketnya. Meski tahu pasti pelatihnya ikut bertolak ke luar negeri, bukan alasan bagi Damar untuk tidak ikut latihan. Setidaknya melatih zig zag movement atau mencoba-coba melakukan jump smash nantinya, dengan catatan Aluna membolehkan. Masih diingatnya cerocosan gadis itu ketika menjelaskan beberapa pantangan, yang entah kenapa membuat Damar merasa diperlakukan seperti orang tua peot nan rapuh. Gemas rasanya, tapi jika Aluna mengeluarkan telunjuknya seraya bersabda, Damar bisa apa?

Beberapa pemain junior menyapa seraya menundukkan kepala saat Damar melewatinya. Damar membalas dengan lambaian tangan, dan kepala si junior baru terangkat kembali ke tempatnya. Tradisi lama pelatnas, di mana seorang pemain senior amat disanjung dan diprioritaskan dalam segalanya.

Game Point! [ Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang