Rencana

7.5K 39 11
                                    

Author’s POV

“Sayang... Sayang.... Bangun, waktu Shubuh hampir lewat, nih. Shalat, yuk!” Bisik ravi pelan di telinga Rana.

Rana menggeliat malas seraya mengeratkan pelukannya ke suaminya. Ravi tersenyum dan balas memeluk istrinya.

“Uhhh.... Masih ngantuk. Bentar lagi.” Balasnya dengan mata yang tetap terpejam dan suara yang agak parau, tapi di telinga Ravi suara Rana yang seperti itu malah terkesan seksi. “Lima belas menit lagi ya.” Sambungnya menawar, ia kembali terlelap dan menyembunyikan wajahnya ke dada suaminya.

“Lima belas menit kelamaan, Sayang, ntar keburu siang. Kamu juga mau kuliah, kan?” Bujuk Ravi lagi agar Rana segera bangun.

Selain karena sudah saatnya bangun dan menunaikan shalat Shubuh, Ravi sebenarnya ingin menetralkan keinginan naluri kelelakiannya. Ia ingin rehat sebentar daripada terus-terusan menahan rasa itu.

“Sepuluh menit.” Tawar Rana lagi dengan mata terpejam.

“Nggak bisa. Sekarang sudah jam 6 pagi. Shubuh-nya ntar keburu lewat, Sayang.” Ravi tak mau menyerah.

Tangannya mengelus-elus pipi Rana dengan lembut.  Ravi sudah tidak sungkan memanggil Rana dengan panggilan-panggilan sayang.

“Lima menit.” Sahut Rana dengan penawaran lagi. Ia benar-benar belum bisa lepas dari rasa kantuk yang menjeratnya.

“Boleh, deh.” Ujar Ravi akhirnya. “Hmm, tapi Ravi minta yang ini juga boleh ya. Sebentaaaar saja. Sambil Rana tidur juga nggak apa-apa.” Ucapnya perlahan di telinga Rana seraya tangan kanannya bergerak perlahan ke bagian tubuh Rana yang paling bikin Ravi resah sepanjang malam ini.

“Heh?” Rana segera menepis tangan Ravi yang mulai meraba kulitnya. Kantuk Rana langsung hilang, seperti debu yang ditiup angin kencang. Ia segera duduk dengan muka merengut seraya merapikan rambut dan baju tidurnya.

Ravi tersenyum puas. Usahanya berhasil hingga membuat Rana terbangun. Kalaupun seandainya gagal, setidaknya ia kemungkinan bisa berhasil mendapatkan jatah suami yang belum kunjung diberikan oleh Rana.

“Kita, kan sudah suami istri, Sayang? Sudah boleh, dong. Berpahala lagi.” Goda Ravi lagi sambil tersenyum.

“Udah, ah, aku ke kamar mandi.” Lanjutnya sembari turun dari tempat tidur.

“Ikut, dong...” Goda Ravi lagi.

“Ke kamar mandi?” Rana menegaskan. Handuk warna biru sudah berada di tangannya.

Ravi mengangguk mantap.

“Nggak boleh!” Ucap Rana ketus diiringi suara daun pintu kamar mandi yang berdebum keras karena dibanting sepenuh tenaga oleh pemiliknya.

“Wanita memang makhluk yang paling sulit ditebak.” Gumamnya pelan pada diri-sendiri. Senyum kecil masih tersisa di ujung bibirnya.

***

Di Meja Makan Keluarga Rana

“Selamat pagi, Ma, Pa.” Ucap Ravi dengan wajah yang ceria, lalu mendaratkan morning kiss di pipi Mama dan Papanya. Berpasang-pasang mata yang berada di ruang makan memandang takjub adegan itu.

“Selamat pagi juga, Sayang.” Balas keduanya berbarengan. Kemudian Mama Ravi membisikkan sesuatu di telinga Ravi. “Rav, orang tuamu sekarang udah empat, Nak. Jangan bedakan perlakuannya.” Ucap Mama memberi nasehat.

“Oke, Ma.” Sahut Ravi menggangguk faham. Ia berjalan pelan ke kursi Bapak dan Ibu Rana. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Ucap Ravi tersenyum sembari menyalami dan mencium tangan mertuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang