Prolog

14.4K 556 8
                                    

Awan berarak melintasi cakrawala, dibawa oleh lambaian angin yang terasa menyejukkan. Hangatnya sinar matahari membuat embun pagi menguap, menari-nari menuju angkasa dan bersatu dengan awan yang seputih kapas. Dedaunan bergemerisik membangunkan bunga-bunga yang tertidur, membuatnya merekah bahagia menyambut datangnya hari baru. Burung-burung beterbangan keluar dari tempat persembunyian mereka, bernyanyi dan menciptakan melodi alam yang indah.

Derap kuda terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Suaranya semakin mendekat ke arah pemakaman di perbatasan antara Leicester bagian timur. Area pemakaman ini merupakan pemakaman keluarga, yang letaknya tak jauh dari estat milik Earl of Lytton. Kuda itu membawa seorang pria dengan setelan berkuda lengkap, menghentikan kuda putihnya yang gagah tepat di samping pohon ek besar yang rimbun. Ia turun dari pelana lalu berjalan lebih dekat ke arah pohon dan mengikatkan tali kekang kudanya di sana.

"Tunggu di sini, Harold," ucapnya sembari mengelus tengkuk kuda jantan itu, yang dijawab dengan dengusan ringan dengan menunjukkan deretan giginya pada moncong putihnya.

Pria itu berjalan memasuki gerbang berpagar rendah yang memang sengaja tidak dikunci. Seikat bunga mawar merah dan putih berada di genggaman tangan kirinya. Pemakaman itu sepi tanpa penjagaan namun tampak terawat dengan gundukan tanah berumput di setiap nisannya. Tak tampak rumput yang tumbuh liar. Semua dipangkas pendek dan tertata baik. Walaupun tempat ini merupakan sebuah pemakaman keluarga yang cukup jauh dari pusat kota tetapi suasananya tidak tampak menyeramkan sama sekali.

Ia menghentikan langkahnya tepat di samping sebuah pusara dengan nisan batu putih berbentuk salib. Beberapa ikat bunga yang sudah kering karena kepanasan masih berada di atas pusara itu. Pria itu berjongkok di sisi nisan. Tangannya meraih bunga-bunga kering itu dan menggantinya dengan mawar yang ia bawa.

Wajah pria itu tampak masih muda, sekitar pertengahan dua puluhan. Dengan rambut ikal cokelatnya yang ditempa matahari yang menyilaukan. Kedua matanya hijau dan tampak berkabut, tampaknya air mata menggenang di sana siap untuk jatuh. Namun dengan sigap ia mengusapnya, berusaha untuk tidak terlihat menyedihkan. Menangis bukanlah sikap pria sejati, pikirnya. Namun kesedihan rupanya enggan untuk meninggalkan dirinya, masih terus menyelimutinya.

"Maafkan aku,Henrieta." Tatapan sendu pria itu mengarah pada nisan di hadapannya. Sebelah tangannya menepuk ke arah nisan yang dingin itu, perlahan dan sangat hati-hati.
"Aku sangat merindukanmu." Kini air mata itu tak dapat ia tahan lagi. Butir demi butir air mata mulai membanjiri wajahnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan saat ini yang terdengar hanyalah isakan kehilangan yang mendalam.

To be continued

TRUTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang