1. Pagi yang Aneh

Mulai dari awal
                                    

Dan siapapun tahu, bagi setiap mekanik, tantangan adalah godaan yang sulit dilawan. Siapa peduli perut lapar dan penat jika bisa melihat mesin yang mustahil diperbaiki ini bisa berjalan lagi?

Sakit yang mendadak menyengat mata membuatku serta merta menjauh dari kapal itu, mengutuk semua pemikiran konyol soal perbaikan dan tantangan menggiurkan. Jarak yang mulai tercipta perlahan meredakan sengatan yang datang mendadak itu.

Setengah berlari ke arah ruang penyimpanan alat kebersihan, aku mulai mempertanyakan kewarasan setelah menganggap burung besi itu tantangan bagi mekanik sepertiku.

Tolol, Alto. Kau tolol sekali.

Bagaimana bisa aku melupakan ultimatum begitu penting di hari sepagi ini?

Pikiranku buru-buru bergeser ke tongkat pel dan cairan busa yang harus dituangkan di bagian dalam kapal, ketika suara itu menghentikanku.

"Mau ke mana kau?!" Teriakan itu bisa untuk siapa saja karena ada lebih dari lima puluh budak yang bekerja di hanggar ini dan tidak ada nama khusus di belakang perintah itu. Namun entah karena apa, aku menoleh, menghadap asal suara itu, dan mendapat balasan pelototan dari sepasang mata hitam berpendar milik pria berbaju putih. Pengawas.

Itu si Pemarah Nomor Dua.

Pria itu berhenti lima langkah dari wajahku, sempat berjengit jijik saat menyadari dirinya hampir berdiri terlalu dekat dengan salah satu pekerja—budak, hampir terlalu dekat dengan manusia. Namun sorot jijik itu segera menyingkir, tergantikan sorot mata berapi-api, menambah terang pendar hitam mirip pusaran di matanya: suatu abnormalitas yang hanya dimiliki penyihir.

Aku buru-buru menundukkan kepala. Mendapat omelan di pagi hari tidak pernah menjadi sesuatu yang baik. "Apa matamu tertusuk sesuatu atau memang benda itu hanya jadi pajangan di lubang yang busuk itu, Manusia?" hardiknya keras. "Ada kapal rusak parah di sini! Kau mau memperbaikinya atau mau kuberikan tangan dan kakimu ke anjing-anjing neraka?!"

Bergidik mendengar nama hewan terkutuk itu, aku menelan ludah dengan kasar. Dari sudut mata, Edward tampak mengernyit tak suka. Tubuhnya tegang. Aku memberi isyarat mata padanya. Meski kelihatan enggan, pemuda itu perlahan pergi, berusaha tak acuh dan mengambil kotak peralatan.

Menghela napas dengan sabar karena tahu ancaman itu bukan sekadar ancaman kosong, aku berusaha memikirkan kata-kata yang paling sopan untuk diajukan ke penyihir ini meski semakin hari, bermanis lidah rasanya semakin sulit di hadapan mereka. "Maaf, Sir, tapi ... menurut peringatan yang diajukan oleh Ketua Pengawas, saya—

"Hei, apa yang kau lakukan?" Aku mendengar pengawas lain berderap mendekat. Tanpa melihat, aku mengenali suara itu. Si Pemarah Nomor Tiga. Aneh mendengarnya ternyata bisa berbisik. "Kau mau kita mendapat hukuman lagi? Anak itu benar-benar tidak berguna! Biarkan saja dia membersihkan kapal! Kau tidak mau Ketua menegur kita karena ada kesalahan di sini lagi kan?"

Sambil menatap kaki-kakiku yang telanjang, suara aktivitas perbaikan di hanggar sudah terdengar bising. Roda-roda gigi berbunyi kasar yang aku tahu berasal dari tangga yang dikeluarkan di sepanjang sisi kapal dari balik lantai di dekat cakar-cakar hidrolik. Belasan pasang kaki telanjang kusam para pekerja melangkah di sekitarku ke arah kapal. Hanya aku yang belum bergerak sama sekali dan kalau sampai ada hukuman atas tuduhan kelalaian padahal dua penyihir ini yang menghambat, mereka berdua dipastikan akan meramaikan daftar Mereka-Yang-Tidak-Akan-Kumaafkan-Sampai-Mati.

Tiba-tiba rasa sakit itu datang lagi. Semakin tajam. Energi panas asing menjalari tubuhku, mulai dari ujung jepala hingga ke ujung jari tangan dan kaki, mengirimkan sensasi geli aneh yang mengganggu. Pandanganku berubah lebih berwarna. Sulur-sulur tipis yang menguar dari tubuh dua penyihir di hadapanku. Salah satu sulur berwarna putih keemasan sementara yang lain berwarna biru dengan semburat violet.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang