Siapa kami?

52.9K 908 24
                                    

Alifia Dewi Shashani

Jam dinding berdenteng 11 kali, melihat langit yang gelap ini berarti sudah pukul 11 malam. Seharusnya ini jadi saatnya para anak untuk tidur, menghentikan semua aktifitas mereka untuk suatu hal yang perlu : Tidur. Tapi lihatlah aku. Duduk disalah satu dari kesepuluh kursi meja makan, makan malam bersama kedua orang tuaku. Iya, makan malam. Saat sharusnya suatu keluarga berkumpul dan menceritakan kejadian yang mereka alami hari ini. Tapi dengarlah, hanya ada suara dentingan sendok beradu dengan piring.

Selalu begini memang, makan malam di jam yang sudah larut. Karena orang tua-ku adalah orang tua yang gila kerja, dan belum akan pulang sebelum jam 9 malam. Itu adalah jam paling pagi mereka pulang, tapi biasanya mereka bisa saja pulang sampai pukul 3 pagi. Bagi mereka, itu tidak masalah. Toh mereka berada di satu kantor, di perusahaan keluargaku. Jadi mereka juga sering bertemu, mereka tanpa aku.

"Tadi Mama lihat dijemuran, ada rok seragam abu-abu. Punya siapa Al?" Mama memecah keheningan dengan bertanya datar. Look? Bahkan merekapun nggak tau kalau sekarang aku udah mau masuk ke SMA. Yah gimana mereka tau, orang semua yang berhubungan dengan sekolahku pasti mereka tidak perduli. Mereka selalu memberikan tugas pada orang lain untuk melakukannya.

" Baju SMA siapa lagi? Jelas itu punya Al." Kudorong piringku dan langsung berjalan menuju tangga, hilang sudah selera makanku.

"Kamu udah SMA Al? Kamu masuk SMA mana?" Mama bertanya lagi, tidak perduli dengan jawaban ketusku tadi. Arghhhh, oke kalau memang Mama mau memperpanjang masalah ini.

"Ah iya, Al lupa. Mama sama Papa kan nggak tau apa-apa ya tentang Al, ah iya ya.. Gimana Al bisa lupa?" Aku menjawab sinis, membuat Papa mendongak dari piringnya.

"Maaf Al, Papa dan Mama belakangan ini sibuk." Papa berkata dengan datar, seperti kata 'maaf' itu tidak sampai di matanya, diekspresinya. Jadi itu hanyalah simbolik aja, agar masalah ini selesai.

"Emm, iya ya? Papa Mama kan sibuk kerja, sibuk cari uang, iya kan?" Aku tersenyum dengan sinis, menatap Mama dan Papa dengan nanar. Ingin sekali rasanya aku berteriak dan menangis!

"Al, udah malem. Kamu tidur aja." Mama mencoba melerai suasana yang semakin tegang, tapi air mata sudah terasa di pelupuk mataku.

"Cari uang buat aku kan? Buat.. Ah apa yang kalian bilang? Buat kebahagiaanku?" Aku berjalan mendekat ke meja makan. "Kebahagiaan apa Pa? Kebahagiaan apa, Ma? Apa ini yang namanya kebahagiaan? Merasa asing disamping keluargaku!! Merasa nggak punya keluarga! Ini yang namanya kebahagiaan?" Air mata mengalir deras dipipiku, dan suaraku mulai tidak stabil. Berteriak, membentak, dan pelan. "Kalau yang kalian maksud kebahagiaan itu kayak gini, aku mending nggak usah dapat kebahagiaan dari kalian."

Papa dan Mama diam, tidak tau harus menjawab apa. Tapi ada ekspresi bersalah di wajah mereka, yang entah benar-benar mereka rasakan atau tidak!

"Al capek, mau tidur!" Dan aku langsung berjalan cepat menaiki tangga, menghapus sisa-sisa air mata dipipiku. Oh God, kenapa aku harus lahir di keluarga seperti ini?

----------

Bagaskara Aditya.

Prang!! Suara piring dibanting membahana ke seantero rumah mewah dan besar ini. Terdengar isakan pelan dan nafas tersengal yang menyusul suara piring tadi. Gue langsung memasang earphone, dan menyetel volume gila-gilaan. Karna gue yakin, sebentar lagi pasti akan ada suara teriakan dan bentakan.

"Jadi menurut kamu, saya yang salah?" Benar kan? Bahkan teriakan itu bisa mengalahkan suara musik yang gue stell dengan volume gila-gilaan. Apalagi sekarang masalahnya?

" Memang kamu yang salah! Siapa perempuan itu? Ha?!" Teriakan dan bentakan lagi.

"Wanita mana? Sejak kapan kamu jadi pecemburu begini?!"

"Tidak usah berpura-pura tidak mengerti maksudku, Mas! Kalian bertemu di cafe bintang kan tadi?!"

Arghhh!!! Dengan frustasi gue lepas earphone gue, dan langsung berjalan ke pintu. Gue buka sedikit celah, untuk melihat dimana dua orang yang lagi berantem itu berada. Ternyata di depan kamar mereka, yang artinya juga didepan kamar gue,

"Kalau berantem jangan disini, mengganggu." Gue berujar pelan, membuat mereka berdua menoleh kaget. "Papa sama Mama kalau berantem mending diluar sana, biar tetangga lebih denger jelas." Kubanting pintu dengan sebal. Yep, mereka berdua adalah orangtua-ku. Tepatnya orangtua-ku yang tidak pernah rukun, gak tau sejak kapan mereka jadi begitu.

Oke, sekarang suasana udah bersahabat. Gue duduk dikarpet deket tempat tidur dan menarik buku bersampul merah dengan judul "ATURAN MENJADI PANITIA MOS"..

Caramu mencintaiku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang