Part 16-Malam Pertama yang Tertunda

Mulai dari awal
                                    

Beberapa jam kemudian aku dan Radit memutuskan untuk pulang. Dan here we go! Kita terjebak kemacetan parah kota Jakarta. Maklumlah, malam ini adalah malam minggu, rasanya wajar saja bila jalanan Jakarta menjadi separah ini.

Radit menggerutu sebal sambil menyumpahi jalanan dan mobil yang ada di depannya. Otot wajahnya bahkan sampai terlihat dengan jelas. Dasar Radit, dia mudah sekali marah pada hal-hal kecil.

"Sabar dong Dit. Mobilnya kamu marahin juga nggak bakal jalan cepet," kataku akhirnya karena tak tahan oleh gerutuan Radit.

"Harusnya nggak lewat sini, mana puter balik udah nggak bisa. Bisa sampe pagi nih kalau gini terus," balas Radit tanpa menoleh ke arahku.

Rambutnya sudah mencuat ke mana-mana. Mungkin dia lelah.

"Sini saya gantiin nyupir, kamu tidur aja sana di belakang. Kantung matamu udah besar gitu Dit," kataku sambil melipat tangan.

"Hmmm, enggak ah, saya takut kalau saya nggak selamat sampai rumah," kata Radit sambil mengulum senyum menghinaku.

Aku melotot ke arah Radit, kemudian memukul lengannya pelan. Radit dan aku tertawa setelah itu.

***

"Kamu pengennya kita pergi ke mana aja Sya?" tanya Radit membuat lamunanku memandangi mobil-mobil di depan harus terhenti. Dia pasti menanyakan rencana honeymoon kami. Hahaha.

"Hmmm mana ya. Mana aja Dit, asalkan ada kamu. Di rumahpun juga nikmat, pokoknya yang penting ada kamu," jawabku sambil tertawa.

Apa aku baru saja terlihat memalukan? Ah tak apa, toh memang itu yang kurasakan.

"Udah kayak cewek ftv ya kamu sekarang," ujar Radit sambil ikut tertawa.

Menit sesudah itu kami larut lagi dalam keheningan.

"Mmm, Sya?" Radit menggumam pelan memanggilku. Aku menoleh ke arahnya.

"Apa?" balasku pelan.

"Malam ini, boleh nggak saya miliki kamu seutuhnya?" tanya Radit sambil menyunggingkan senyum menggodanya.

Apalagi ini? Jantungku berdegup tak karuan. Oh tolong aku sekarang!

"Hah? Kamu tuh ya Dit, kayak gitu pake ditanya segala lagi," balasku tak mampu menahan rasa malu. Wajahku memanas seketika.

"I know kamu pasti bakal bilang boleh. Iyakan Sya? Manfaatnya banyak banget kan ? Udah bikin jantung lebih sehat, menjaga tekanan darah tetep normal, meredakan stres, meningkatkan imun, juga ningkatin kualitas tidur lagi. What a beautiful!" kata Radit dengan ekspresi dibuat-buat.

Dia mungkin sedang berusaha membuat percakapan aneh ini mencair dan berubah dengan tawa kami seperti biasa.

"Iya iya, super duper bener! Kenapa nggak jadi dokter aja dulu? Cocok deh kayaknya," balasku sambil tertawa juga.

"Soalnya sejak dulu saya tahu akan punya jodoh dokter, buat apa jadi dokter?" Radit menjulurkan lidahnya ketika mengakhiri kalimatnya.

Aku tak tahu apa maksudnya, dan aku tak mau tahu. Sekarang, aku sedang sibuk mengendalikan jantungku yang jadi tak karuan begini. Buru-buru aku mengendalikannya.

"Kok sama Dit? Dulu saya juga tahunya akan punya jodoh dokter, eh tapi ternyata kok bukan ya," kataku sambil menatap Radit.

"Kamu selalu bikin fail tahu nggak sih Sya," balas Radit membuatku tertawa terbahak-bahak.

Satu setengah jam kemudian kami sudah sampai di rumah. Huah! Badanku rasanya sangat pegal, kuputuskan untuk segera masuk kamar dan mandi. Oh ya, malam ini terasa sepi, hanya ada Pak Maman saja. Bi Inah dan Pak Budi sedang pulang ke kampung halaman karena ada acara keluarga di sana.

Marriage With(out) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang