"Udah?" jawabku dengan wajah masih tenang. "Gue bingung, ya, kenapa orang-orang kayak lo bela-belain dateng kesini buat minta gue jauhin Aldric. Kalau usaha lo emang kasih hasil, itu nggak apa-apa. Tapi ini tuh percuma, karna gue nggak bakal pernah angkat kaki buat ngejauh dari Aldric."

"Lo seyakin apasih kalau Azka bakalan terus setia di samping lo?" Pertanyaan itu lagi-lagi membuatku geram bukan kepalang. Jika tidak memikirkan orang lain yang juga mencari kenyamanan di cafe ini, mungkin aku sudah membalikkan meja seraya berteriak pada kakak kelasku yang sampai sekarangpun belum aku ketahui namanya itu---sebenarnya juga tidak berminat untuk tahu.

"Sorry, ya, buat lo yang namanya aja bahkan gue nggak tau. Lo nggak tau apa-apa tentang gue. Lo nanyakan kalau seyakin apa gue sama Aldric? Gue nggak perlu keyakinan apa-apa buat mikir kalau dia bakalan terus ada di sebelah gue. Karna kalau-kalau lo mau tau satu hal, dari dulu, dari awal kita kenal, Aldric yang ngejar-ngejar gue. Dia yang pengen jadi temen gue. Ngerti?"

Kakak kelasku terdiam di tempatnya. Percaya tidak percaya pada ucapanku mungkin. "Nggak mungkin Azka yang ngejar-ngejar cewek kayak lo. Sadarlah! Lo cuma makin keliatan jelek dengan ngarang cerita kayak gitu."

Alih-alih marah, aku malah tertawa akan ejekan tersebut. "Lo tau nggak? Gue pernah baca, kalau salah satu cara buat ngadepin omongan orang-orang bego, itu cuma diem. Jadi gue pikir nggak ada alasan buat gue jawabin kata-kata lo lagi. Dan kalau lo mau gue jelasin, silahkan bayar gue dengan buatin tugas ini. Terserah sama apa yang lo mau bilang tentang gue, karna mikirin kata-kata lo nggak akan buat tugas gue selesai. Nah, kalau lo mau gue ngelawan argumen konyol lo itu, silahkan gantiin gue nugas sekarang."

"Lo bakal dapetin balesannya." Kakak kelasku berdiri dengan muka merah padam. Kutatap punggungnya yang menjauh. Aneh sekali. Datang dengan amarah, kemudian pergi dengan rasa malu. Siapa yang ingin hidup seperti itu?

Aku berhenti sejenak sembari menghela napas, membuang segala emosi di kepala dengan berhenti sejenak dari layar di depanku. Hujan tiba-tiba saja turun di luar sana tanpa peringatan mendung. Membuat orang-orang kalang kabut sibuk mencari tempat untuk berteduh. Bahkan ada yang memasuki café dengan terpaksa, lalu mencari kursi kosong dan dengan berat hati mengeluarkan uang untuk secangkir coklat panas. Mereka tidak mungkin tidak memesan jika sudah memasuki tempat ini.

Aku mulai memperhatikan rintik hujan yang berlomba menuju bumi. Diam-diam membiarkan hatiku kembali memikirkan secercah nama. Aldric. Bukankah aku yang bodoh? Membiarkan diriku terjatuh dan malah merawat perasaan itu agar terus tumbuh. Merelakan diriku jatuh dengan sakit yang wajib aku tanggung sendiri. Seperti sudah menjadi peraturan di awal dan tidak dapat diubah. Siapa yang jatuh cinta, maka merekalah yang harus menanggung luka kala mendapat penolakan. Siapa yang jatuh cinta, maka merekalah yang akan tertawa bahagia sebab cintanya diterima. Sudah hukum alam. Sudah begitu kata Tuhan. Memaksakan keadaan sama saja dengan melawan Tuhan dan alam.

Tetapi, kadang aku berpikir, bahwa nasibku persis seperti rintik hujan. Jatuh berkali-kali dan terus merasakan sakit. Anehnya, aku bahagia karena merasa bahwa hadirku serta rintik hujan akan membawa kedamaian bagi semua orang. Persis seperti namaku, Nadine Sava Fredella, perempuan penuh harapan, ketenangan, dan pembawa kedamaian.

Walau aku akui dengan berat hati, tidak sedikit orang yang membenci hujan. Salah satu contoh terdekatnya adalah lelaki yang kini duduk di meja depanku. Sejak datang, dia selalu saja mengutuk hujan.

* * *

"Sore, Beb," sapa Aldric dengan raut wajah riang padaku yang terus serius menatap grafik pada layar laptop di depan. Aku mendengar bunyi kursi yang ditarik, pertanda bahwa Aldric mungkin sudah duduk tepat di seberangku. Merasa diperhatikan, aku akhirnya mengalihkan tatapan pada Aldric. Benar saja, bahwa lelaki itu memang tengah menatapku dengan cukup khitmad.

Between UsOnde histórias criam vida. Descubra agora