[]Prolog[]

19.6K 1K 30
                                    

The Conqueror Curse Emperor

|Tanggal Publish: 15 Mei 2016, Mingg. 10:00 AM|
|Tanggal Revisi: 21 September 2018. Jumat. 22.45 PM|

[][][]

P r a k a t a

1. Selamat datang di dunia Asuka dan Kenshin.

2. The Conqueror Curse Emperor jelas bukan novel fiksi bergenre historical-fiction yang akan membuatmu terbuai dengan sejarahnya. Karena jika boleh jujur, jika cerita ini di persentasikan, jelas 90 % adalah murni fiksi yang lebih ke menghibur daripada mengedukasi.

3. Cerita ini memiliki latar tempat dan waktu berdasarkan fakta yang terjadi di Jepang maupun China semata-mata untuk lebih mengenalkan para pembaca pada nama-nama Sejarah pada saat itu dan bukannya untuk pelengkap saja. (Saya mikirnya daripada pake nama-nama nggak jelas yang kadang bikin pusing lebih baik pake nama yang asli, biar kitanya juga nggak terlalu asing pada nama-nama sejarah Negara orang)

4. Selamat datang di dunia Asuka dan Kenshin yang benar-benar baru, karena cerita kali ini—yang sudah diedit—hampir 60% mengalami rombak jalan cerita.
5. Cerita ini mungkin tidak begitu menggambarkan detail tentang latar tempatnya yang berada di Jepang karena penulis sendiri masih belajar.

So... happy reading guys!

[][][]

[]Prolog[]

     Jika cuaca suatu daerah bisa diurutkan dari level minimum sampai maksimum, mungkin tidak berlebihan jika cuaca kala itu di sebuah Kerajaan besar di Negeri Sakura menggelarinya sebagai level maksimum.

Cuaca semacam ini bisa tertebak, karena sorenya—saat matahari biasanya baru mengulirkan dirinya—mengizinkan sang Rembulan untuk menyombongkan dirinya atas pantulan dari planet lain—tidak teduh. Padahal biasanya selalu teduh yang pantas untuk dijadikan latar sebagai pengantar para pekerja menapakan kakinya pulang dengan dahi bercucuran namun kantong penuh.

Sore kali itu lain, bukan teduh namun kelewat teduh sampai orang-orang yang pikun mengiranya tengah malam. Meski tanpa bintang dan bulan.

Hujan bergemuruh, arah jatuhnya tidak beraturan karena angin kencang mengajaknya berdansa. Para Rakyat tidak mempertanyakan ‘bencana’ seperti itu karena memang pada saat itu sedang musim hujan, meski dengan kuantitas yang agak besar.
Semakin malam, bukannya berhenti, angin rupanya bosan berdansa dengan air hujan karena menjelang petang angin itu sudah memporak-porandakan pohon-pohon besar—yang malangnya pohon itu tidak mau jatuh sendiri karena ia juga membuat jatuhnya ratusan rumah-rumah kayu milik rakyat.

Teriakan-teriakan manusia itu telah menjadi lagu penghibur dengan gemuruh hujan sebagai perkusinya bagi satu manusia yang kini teriakannya—untuk menyemaraki lagu alam tersebut—disumpal kain putih. Tangannya digantung di kedua sisi. Sambil meneriakan sesuatu yang tidak terdengar dia menengadahkan kepalanya menghadap langit-langit megah yang menaunginya, sembari sekuat tenaga mendorong ‘berkah’ yang mendesak meminta dikeluarkan.

Tapi meskipun tenaganya sudah hampir habis, ‘berkah’ itu sulit dikeluarkan meskipun belasan tabib membantunya. Di luar, terlihat manusia paling berkuasa se-antero Kerajaan tersebut tengah mondar-mandir dengan wajah pucat—antara kedinginan karena hujan badai begitu juga kegiatan persalinan yang tidak lekas berakhir.

Cepatlah lahir, Nak. Gumam sang Kaisar sembari mengatupkan kedua tangannya memanjatkan doa—entah untuk yang kesekian kalinya semenjak Permaisurinya dikungkung para Tabib untuk memulai persalinan. Kemudian pintu tersebut terbuka, seorang Tabib yang langsung membungkuk hormat. Tanpa mengalihkan matanya dari lantai marmer yang indah—yang sekarang begitu dingin dan turut mencekam—Tabib tersebut membawa kabar baik, bahwa ‘berkah’ itu sudah terlahir dengan selamat dengan jenis seorang lelaki.

Tanpa sadar Kaisar kembali mengatupkan tangannya—kali ini untuk mengatakan banyak terima kasih pada Dewa meski dengan fakta bahwa kerajaan mereka tidak mengenal teori ketuhanan—dan mengalihkan netranya menatap para Prajurit serta Dayang yang masih berjaga di luar ruang persalinan hanya untuk melemparkan senyum cerahnya—yang lagi-lagi dilakukannya  tidak sadar karena biasanya Kaisar tersebut tidak beramah tamah dengan para Pembantunya.

Karena tidak jeli—entah karena kelewat senang atau kurang fokus—netra Kaisar jelas tidak menangkap sebuah wajah pucat yang tampak kontras dengan sisi hutan yang gelap dan penuh hujan tepat di sebelah ruangannya.

Wajah itu bahkan terlihat seperti sebuah lukisan wajah yang dilukis dikanvas hitam pekat. Wajah itu menyorot punggung kaisar yang sudah tenggelam dalam pintu berukir sebuah naga. Wajah yang sarat akan kekosongan. Hanya seperkian detik, mulut menggigil—karena terguyur hujan—itu mengucap mantra,  sebuah mantra kuat yang bisa membuat manusia menjadi seorang siluman. Kemudian pemilik wajah murung itu memejamkan mata lantas menghilang seolah dirinya garam yang melebur bersama air hujan.

Entah berkaitan atau tidak, hujan perlahan merintik. Hujan juga tidak lagi berdansa dengan angin karena daun kecil pun hening tanpa goyangannya. Dua kemungkinan, bisa karena alam sudah menyadari jika sang Pewaris Tahta sudah dilahirkan oleh sang Permaisuri makanya mereka mengheningkan cipta sebagai penghormatan atau penyebab bencana itu adalah si Wajah Murung yang setelah ia menghilang alam pun berubah normal.

[][][]




The Conqueror Curse Emperor (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang