| 1 | TITIK BALIK MASA LALU

10.5K 509 18
                                    


'Bolehkah sejenak aku berhenti mencintaimu? Kumohon, izinkan aku terbebas dari rasa sakit ini. Sekejap, Sayang. Tidak lebih dari itu.'



***


SERATUS lima puluh empat hari berlalu, aku masih saja berada dalam keadaan ini. Stagnan. Tidak benar-benar tahu apa yang kuinginkan, bahkan pada diriku sendiri. Kubiarkan saja angin menyapaku, udara dingin menghantam tubuhku, cuaca panas yang membuatku gelisah, waktu berlalu dengan sia-sia, pun manusia-manusia yang silih berganti mencoba membujukku. Untuk bangkit. Untuk kembali berpijak. Untuk kembali mengangkat daguku. Memperlihatkan wajahku pada dunia. Semuanya kuabaikan. Aku tidak membutuhkan mereka semua. Tidak. Tidak. Dan akan tetap tidak, sekalipun mereka mengajukan pertanyaan yang sama seribu kali banyaknya.

Aku hanya membutuhkannya. Hanya dia.

Dan lihatlah, setiap kali aku mengatakan itu, mereka hanya dapat menggeleng, kemudian memelukku erat. Percuma saja, kan? Seharusnya aku tidak menjawab. Pada kenyataannya, mereka tidak akan mampu memberikan apa yang aku inginkan.

Tidak... bahkan sampai aku menyusulnya pun, mereka tidak akan pernah bisa membawanya kembali padaku.


***


'Syaza F. Gibran & Suami'


HELAAN napas berat lolos dari bibirku. Apa semesta sedang bercanda? Ketahuilah, aku sedang tidak berminat. Bagaimana mungkin aku bisa tertawa, saat sudut-sudut bibirku seakan membeku. Menarik sedikit saja, membuatku sakit teramat sangat. Dia membuatku melupakan semuanya. Tidak ada ekspresi yang kukenal baik, selain luka. Hal remeh semacam memejamkan mata saja, berhasil membuatku cedera. Terluka dalam. Menetes. Membuatku bergerak gelisah.

Sama halnya dengan kali ini.

Secarik undangan yang tiba di meja kerjaku, membuatku tidak sanggup menahan diri. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, kulempar undangan pernikahan bernuansa cokelat tersebut ke arah dinding. Bodohnya, aku terkejut sendiri akibat ulahku. Tubuhku refleks bergidik. Erat, kucengkeram tepian meja. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Maka, sebelum hal bodoh itu lagi-lagi menguasaiku, buru-buru kupicingkan kedua mataku. Berharap tetes-tetes itu tidak lagi berniat menyapaku. Cukup sudah. Aku tidak ingin lagi berkenalan dengan rasa sakit itu. Cukup. Aku sudah mengenalnya dengan sangat baik.

Tapi, siapalah aku? Ketika tubuhku bergetar hebat, aku tahu aku sudah tidak sanggup lagi. Berusaha untuk tetap berdiri, aku menyusuri ruang kerjaku, pelan kutiti tangga menuju lantai dasar.

"Teteh mau pergi?"

Pertanyaan itu berhasil membatalkan niatku menyentuh gagang pintu. Aku berbalik. Mendapati dua orang pegawaiku berdiri di hadapanku. Wajah keduanya yang tadinya hanya sekadar penasaran, seketika berubah cemas. Aku bisa membacanya. Mereka mengkhawatirkanku. Tetapi, tidak, aku tidak membutuhkan siapa pun.

"Saya keluar sebentar," jelasku. "Kalau ada yang tanya, jawab aja saya pergi menemui suami saya."

Keduanya mengangguk. Tidak ada suara apa pun yang kudengar di belakang punggungku—selain hening berkepanjangan. Sesuatu yang tidak asing lagi bagiku.

Aku kembali melangkah. Mencoba meraih pintu mobilku dengan tangan bergetar. Setelah lima menit berlalu, aku tidak jua melakukan apa-apa. Hanya duduk diam di balik kemudi. Membiarkan mesin mobil menyala, sementara pandanganku bergerak gelisah.

ENDEAVOR (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang