Yang Pernah Hadir

Start from the beginning
                                    

"ini belum berakhir!" pekik Rio pelan.

"sudahlah Yo!" Dea memandang Alvin yang masih meringis menahan sakit.

Alvin menyinggungkan bibirnya. "kau tak berhak menghakimiku.!"

Rio sempat meronta untuk memukuli Alvin lagi, namun dengan cepat Dea menengahinya. "CUKUP!! OK?!!"

Dan mereka mulai menyusuri koridor sekolah dengan diam, meski dalam hati masing-masing saling melontarkan kutukan-kutukan.

[Flasbackend]

"Kau mau mengandalkan Alvin? Sudah jelas ia tidak mau menyelesaikan tugas ini. Ayolah yo!! Harusnya kamu bersyukur aku masih mau nyempetin waktu untuk ini. Lagian aku gak ikut campur ya dengan pertengkaran kamu dan Alvin. Kenapa aku harus peduliin ini juga?" cerocos Dea yang sudah kesal dengan sikap Rio yang jadi acuh seperti ini.

Drrrttt...drrrttt...drrttt

Baik Rio maupun Dea sama-sama menoleh ke arah ponsel Rio yang diletakan sembarang di atas meja. Rio meraih ponselnya san segera menekan tombol hijau.

"Ya Ag?"

"Aku ingin bertemu denganmu." Suara manja di balik telpon yang tak lain Agni membuat Rio secara Repleks berdiri dari duduknya.

"aku akan segera menemuimu." Ujarnya sambil memutuskan pembicaraan "duluan ya De!"

Dea memandang punggung Rio yang semakin menjauh darinya dan menghilang di balik pintu restaurant. Ada rasa tidak rela yang mengganjal dalam hatinya. Semacam helium kecemburuan yang memenuhi organ pernafasannya dan siap meledak kapan saja.

***

Bukan hal asing jika suasan ricuh terjadi setiap kali tidak ada guru yang masuk. Seperti saat ini. Teriakan, tawa, lagu yang sengaja diputar di music player dan obrolan para siswa, benar-benar menggema, mengganggu kelas-kelas lain yang sedang berkonsentrasi dengan pelajaran masing-masing.

Hanya Alvin yang rupanya tidak berminat mengikuti aksi gila teman-temannya. Bukan karena ia siswa teladan yang tidak suka keributan di dalam kelas. Bukan pula karena ia orang pendiam yang tidak ahli membuat suasana kelas menjadi berisik. Justru biasanya dialah trouble maker kelas XI IPS 2. Ia yang paling vokal dalam soal itu.

Tapi untuk saat ini, entah angin apa yang membuat ia berdiam diri di mejanya. Meja paling pojok yang memberi kenyamanan tersendiri untuknya.

"Hai!" Dea duduk di hadapan Alvin "tidak ingin membuat ketua kelas pusing?" sindirnya sambil menunggu Alvin menatapnya.

Alvin mengangkat kepalanya yang ia tenggelamkan di balik buku yang entah dibacanya atau tidak. Dea terhenyak melihat warna-warna biru di sekitar wajah Alvin.

"Siapapun kamu, yang pasti aku tidak punya urusan denganmu!" papar Alvin menatap Dea yang sebenarnya tidak terlalu dikenalnya.

Dea tersenyum. Heran dengan sikap orang dihadapannya. Sudah lama ia tahu Alvin, ia tahu sifat nyebelin Alvin yang sudah naik ke pangkat tertinggi. Ia tahu Alvin siswa tereksis di sekolahan karena kenakalan-kenakalan yang sering ia lakukan. Iapun tahu, Alvin seorang genius matematika. Dan apa yang ia tahu, tentu orang lain juga mengetahuinya.

"Kau bilang, kau tidak punya urusan denganku? Lalu apa ini?" Dea menunjukan buku catatannya kehadapan Alvin.

Alvin memandang buku itu tanpa ekspresi, terkesan acuh dan masa bodoh.

"Sebenarnya aku bisa saja menulis artikel ini sendiri, hanya saja aku ingin kau bersikap tanggungjawab untuk ini!"

"Aku akan bertanggungjawab kalau kamu mengganti tema artikel itu. Kalau tidak lebih baik kau selesaikan tugas itu dengan teman bodohmu itu!" Alvin menutup buku itu dan kembali menyodorkannya ke hadapan Dea.

Queen Of Sad Ending Where stories live. Discover now