Sebelas : Wasiat Ayah

469K 19.3K 517
                                    

Alka dan Aliandra sudah berada di dalam gerbong kereta api yang akan membawa mereka ke Bandung. Gerbong kelas Eksekutif yang memberikan fasilitas lebih nyaman untuk penumpangnya.

Dari awal naik ke dalam gerbong Aliandra terus menatap ke arah jendela padahal tidak ada yang menarik untuk di pandang, hanya tembok pembatas stasiun dan para calon penumpang yang hilir mudik mencari gerbong yang akan di naiki. Ia mengabaikan Alka yang duduk di sampingnya. Tidak ada sepatah katapun yang ia ucapkan, kejadian tadi malam masih membekas nyata di hatinya sulit untuk ia kikis.

Alka ikut menatap ke arah jendela, namun bukan jendela yang ia pandang melainkan Aliandra. Wajah Aliandra masih pucat sama seperti semalam. Apa Arliandra sakit?

"Aliandra."

Meski enggan Aliandra tetap menoleh saat Alka memanggilnya.

"Ada apa?"

"Apa kau sakit? Wajahmu sangat pucat."

Berhenti mengkhawatirkanku, ingin rasanya Aliandra mengatakan kata itu. Namun ia tidak mampu. Ia hanya menggeleng.

Masinis telah membunyikan peluit yang menandakan kalau kereta api sudah siap untuk memulai perjalanannya mengantarkan para penumpang ke stasiun yang dituju. Pintu-pintu gerbong secara otomatis tertutup dan kereta api pun mulai bergerak di atas rel dengan kecepatan maksimal.

Begitu berangkat dari Stasiun Gambir, sepanjang perjalanan para penumpang dimanjakan dengan pemandangan bukit-bukit yang indah dan perumahan penduduk yang terlihat nyaman dengan suasana desa yang tentram. Hamparan sawah yang hijau, langit yang biru di iringi awan putih yang terlihat seperti mengikuti pergerakkan orang yang melihatnya.

"Kau akan merasa pusing kalau terus melihat ke arah jendela Aliandra," Alka mengingatkan saat Aliandra terus menatap ke arah jendela sama sekali tidak mengalihkan pandangannya barang sedetikpun.

"Pemandangannya sangat indah. Aku tidak mungkin melewatkannya."

"Akan lebih indah kalau di lihat dari atas helikopter."

"Aku tidak suka naik transportasi udara."

Pembicaraan yang kini terjalin tanpa adanya kontak mata. Aliandra memandang ke arah jendela sedangkan Alka tengah membaca beberapa email yang masuk ke dalam ponselnya. Meski ia tidak ada di kantor namun Radit tetap mencekokinya dengan berkas-berkas. Dia benar-benar tidak rela membiarkan Alka lepas dari pekerjaan kantor sedangkan dirinya sibuk bekerja sendirian. Menurutnya Itu sangat tidak adil.

"Kenapa?" Alka bertanya singkat, ia kembali membaca laporan yang ia dapatkan dari Radit beberapa menit lalu. Laporan itu berisi tentang orang-orang yang ikut serta dalam koalisi, ada dua nama yang menarik perhatiannya. Dua nama itu memiliki pengaruh cukup penting di perusahaan.

"Aku takut ke tinggian," Aliandra pun menjawab singkat.

Tidak ada tanggapan dari Alka. Fokusnya masih tertuju pada laporan yang tengah ia baca. Ia tidak menyangka kalau banyak yang ingin menjatuhkan posisinya. Orang-orang yang selalu bersikap manis di hadapannya ternyata berniat untuk ikut menikamnya. Sebelum mereka yang menikam, ia sendirilah yang akan terlebih dulu menikam mereka satu persatu. Membungan mereka dari perusahaan. Perusahaan tidak butuh para penjilat seperti mereka.

Benar yang di katakan oleh Alka. Tidak baik terus memandang ke arah jendela karena itu akan membuat pusing. Wajah Aliandra yang sudah pucat dari awal semakin pucat saat kepalanya terasa pusing di tambah lagi rasa mual. Ia mabuk perjalanan, padahal kereta api baru berjalan di atas rel kurang dari satu jam. Keringat dingin sudah membasahi keningnya.

Aliandra | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang