Iris berhenti, tiba-tiba ia kehabisan kata, rasanya ia ingin menyum--
"Oh sialan kau penulis pekebun dan tulislah tanpa kerangka karangan." Baik, dia sudah menyumpah.
Apakah sebuah keputusan yang tepat untuk berjalan ke luar di malam hari? Sepertinya tidak, ia menggeleng pelan sambil memijit pangkal hidungnya. Ia memutuskan untuk rehat, menutup perangkat lunak dan mematikan piranti.
Sepertinya ia menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada sekadar berjalan di malam hari yang salah-salah akan membuatnya masuk angin. Mungkin segelas anggur milik bibinya, kabar baiknya, mereka--paman dan bibinya--seharusnya sudah tidur.
Jadi yang ia lakukan adalah tinggal berjalan tanpa menimbulkan suara dan mungkin seteguk cukup, ia tidak berniat untuk minum banyak. Pelan ia putar kenop pintu kamarnya, dan ketika pintu tertarik membuka ....
"Aku perlu tahu tujuanmu memutar pintu pelan-pelan, Iris." Itu bibinya, bersedekap di depan pintu kamar.
Iris gelagapan.
"A ... emm ... a-aku mau mengambil a--minum, ya, aku kelaparan--maksudku, kehausan."
"Oh, Bibi juga, ayo kita minum sebelum tidur," ajak bibinya, Iris mengulas senyum dan ikut mengekor turun dari kamarnya.
"Jadi kau mau minum apa?" tanya bibinya saat mereka sampai di ruang makan.
"Sama dengan Bibi." Ucapan Iris membuat bibinya menghentikan kegiatan menata gelas.
"Tunggu ..." bibinya menoleh dan memiringkan kepala sejenak, lalu menggeleng, "tidak Iris, jangan--"
"Ayolaaah," pinta Iris sembari membulatkan matanya.
"Berapa usiamu?" tanya bibinya.
"Delapan belas."
"Baiklah, setengah gelas saja."
"Apa? Bukankah itu terlalu sedikit?" ujar Iris.
Bibinya menoleh. "Kupastikan kau tidak kuat menghabiskannya, Nak." Ia mengambil sebotol anggur putih dan dua gelas kecil, lalu menuangkannya.
Cairan beralkohol berwarna bening mengisi satu gelas--hampir penuh--sementara satu gelas lainnya terisi setengah. Selesai ia membawakannya ke Iris.
"Ada apa?" tanya Bibinya.
"Apanya?" Iris bertanya balik.
"Musim dingin bukan alasanmu mencari kehangatan di segelas kecil anggur, 'kan?"
Iris mengecap sedikit dan berjengit, "Ugh, berapa tahun minuman ini?"
"Tidak tahu, aku asal ambil."
Iris mengernyit karena jawaban bibinya. "Aku mencoba untuk menulis lagi."
"Oh itu bagus, lalu masalahnya?"
"Buntu."
"Yah, kau terakhir menulis dua tahun lalu, wajar, 'kan?" Bibinya meneguk sebanyak setengah gelas. Iris terdiam. "Kali ini tulisan seperti apa yang kau buat?" tanya Bibinya.
"Emm--"
"Hei, ayolah, tak perlu ragu, Bibimu ini adalah seorang Anna Clarkwood, nama alias dari Stephanie Brooke."
"Ya, mantan penulis cerita detektif." Ucapan Iris membuat bibinya terkekeh geli.
"Ucapan 'mantan penulis' itu sejujurnya menyakitkan, terkadang aku rindu masa-masa persaingan buku detektif pada masa mudaku," ujar Bibi.

KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: Iris
FantasyKeping mimpi, bekas luka di tangannya, dan sebuah penyerangan di malam ulang tahunnya yang ke-19. Pemandangan terakhir yang Iris lihat adalah kepergian orang-orang misterius itu dengan membawa serta paman dan bibinya. Setelah terbangun di markas Elp...