19. Sepi

7.2K 907 46
                                    

"You never really understand a person until you consider things from his point of view—until you climb into his skin and walk around in it."

To Kill a Mockingbird

***

Akhir pekan bukanlah waktu favorit Reihan sejak ibunya meninggal dunia. Ia tidak suka sendiri. Ia tidak terbiasa sendiri, dan mungkin tidak akan pernah menjadi biasa.

Dalam hidup Reihan, hanya ada dua sosok perempuan yang ia sayangi. Ibunya, dan Nadhira. Namun belakangan ini, Nadhira seolah-olah menghindar darinya—atau lebih tepatnya, menjauhinya. Entah karena alasan apa. Ia tidak ingat kapan tepatnya Nadhira menjadi sangat sensitif, seingatnya dulu sahabatnya itu tidak begini. Nadhira adalah teman yang menyenangkan, yang selalu mendukungnya, yang selalu menjadi motivasinya, sekaligus menjadi teman yang berhasil membuatnya melewati masa-masa sulit sepeninggal ibunya.

Hari ini, contohnya. Reihan sebenarnya berniat mengajak Nadhira jogging, sekaligus untuk mencoba 'mengembalikan' lagi pertemanan mereka yang seolah-olah menguap begitu saja. Namun Nadhira menolaknya dengan alasan ada janji dengan Emir. Yah, kalau dipikir-pikir, benar juga apa yang dikatakan Nadhira ketika mereka masih SMA dulu; kalau mereka tidak mungkin bisa selamanya bersama.

Untunglah sekarang sudah ada Jasmine yang menemaninya, yang menjadi temannya menjalani hari-hari dan seolah-olah menjadi figur pengganti ibu yang sangat ia sayangi dan rindukan itu. Jasmine kini menjadi satu-satunya semangat untuk melanjutkan hidupnya.

"Aku nggak terlalu bisa masak, jadi kalo nggak enak gapapa yaa?" tanya Jasmine sambil tersenyum lembut dan menghidangkan sepiring nasi goreng berisi telur, sosis, dan nugget di meja makan Reihan.

Reihan menatap sarapannya pagi itu dengan nanar. Entah sejak kapan terakhir kali ia makan di meja makannya. Selama ini ia selalu makan di rumah Nadhira, atau membuat roti selai sendiri, atau bahkan tidak makan sama sekali. Sejujurnya Reihan tidak suka kalau harus makan sendiri, dan kalau bukan karena Nadhira terus menerus membawakannya sarapan setiap pagi dan mengajaknya sarapan bersama di rumah Keluarga Idris sejak ibunya meninggal, ia pasti tidak akan mau makan.

"Rei, kok diem aja?" tanya Jasmine bingung, "Keliatannya emang berantakan, tapi tadi pas aku coba—"

Belum selesai Jasmine bicara, Reihan sudah memeluknya erat.

***

Setelah cukup lama keheningan mendominasi, akhirnya Jasmine memberanikan diri untuk bertanya pada Reihan yang sejak tadi memeluknya tanpa bicara satu patah kata pun, walaupun sekilas, Jasmine dapat melihat raut sedih di wajah pacarnya itu.

"Hei, kenapa?"

Reihan menggeleng pelan, sementara Jasmine merasa pundaknya mulai basah.

Eh? Reihan nangis? pikir Jasmine, lalu sebelum ia bisa bertanya lagi, Reihan mengatakan sesuatu.

"Tolong begini sebentar aja..." ucap Reihan lirih, masih menenggelamkan kepalanya di pundak Jasmine, sebelum kemudian melanjutkan, "Aku kangen Mama. Aku kangen sarapan buatan Mama. Aku... nggak tau apa bisa terus hidup kayak gini—tanpa Mama."

Ekspresi Jasmine yang awalnya kebingungan, kini melembut. Ia mengusap perlahan punggung Reihan dengan perlahan. Selama ini Reihan memang tidak pernah secara langsung menunjukkan emosinya dan terkesan urakan, tapi jauh di dalam diri cowok itu, jiwanya rapuh dan kesepian.

Jasmine menyukai momen-momen ini; momen ketika ia merasa dirinya dibutuhkan oleh orang lain, momen ketika ia merasa hidupnya tidak sia-sia, ketika ia tidak merasa sepi lagi. Kedua orang tuanya sibuk bekerja sampai tidak pernah memperhatikannya, ia juga tidak punya teman yang selalu ada di sampingnya. Ia hanya punya dirinya, dan kini ia punya Reihan.

Friends, Lovers, or Nothing?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang