Bab 19 Racun Acinote

40.2K 4.3K 391
                                    


Debu yang seharusnya menempel pada paving block berhamburan di udara ketika mobil sport berlapis kristal swarovsky yang mengebut langsung mengerem mendadak. Mobil berdecit cukup kuat dan gerakannya yang bermanuver meninggalkan jejak aus warna hitam. Seorang pria keluar dengan segera. Penampilannya tampak kacau. Dasi yang semula rapi menegaskan pembawaannya yang perfectionist, kini tampak mengerikan karena bentuknya yang asimetris dan acak-acakan. Dasi itu ruwet dengan ikatan di bagian kerah yang menggumpal. Kancing kemeja ada dua yang terlepas sementara tuksedo yang ia pakai tadi, entah kemana. Dia benar-benar tidak peduli lagi. Secepat kilat, ia berlari memasuki rumah Baikah. Jika di sana ada pelatih olimpiade lari, sang mentri tentu akan takjub pada caranya berlari yang powerful dan lentur. Ia melewati ruang tamu, menghampiri tangga, kemudian menekan tombol yang tersembunyi di belakang anak tangga kedua.

Pintu yang diserupakan dinding bergerak kemudian terbuka. Ruangan rahasia itu menampilkan Baikah. Niam berlari lagi dan ketika mencapai nenek tua itu, ia tidak lagi menahan diri.

"Bagaimana keadaan Sangi?" Bukan hanya khawatir yang melapisi mata Niam, juga takut dan harapan.

"Hutomo yang membawa Sangiang. Mereka ke arah Jawa Barat. Sinyal terakhir yang kutangkap sebelum mereka berganti mobil adalah di Cileunyi. Setelah itu, jejak mereka raib." Baikah menunjukkan rute yang dilewati Hutomo lewat layar hologram computer yang ia besarkan viewnya.

"Nenek tidak melacak nomer ponsel Sangiang?" Niam meraih kendali. Ia memegang mouse Baikah dan melacak dengan caranya sendiri.

"Ponsel Sangiang di kamar tidur kalian." Baikah menunduk sebentar. "Satpam yang melihat mereka mengatakan kalau Sangiang dalam kondisi tidur. Besar kemungkinan, Sangiang pingsan. Hutomo keluar untuk membawa Sangiang ke klinik dokter dengan alasan Sangiang tidak enak badan. Niam, jangan lupa bernapas." Ingatkan Baikah karena melihat wajah tegang Niam. Ketegangan itu mengakibatkan otot-otot leher Niam berkontraksi. "Ayahmu sudah meminta bantuan kapolri untuk menugaskan Polisi Daerah Jawa Barat bergerak dan menyisir area. Tetapi, karena Sangiang belum hilang 24 jam, mereka belum bergerak."

Ayahnya sampai sekarang tidak menelpon Niam, itu artinya belum ada perkembangan mengenai keberadaan Sangiang. Niam masih mengacak-acak digit pada sistem aplikasi navigasi buatan Baikah. Dia melacak keberadaan Guntur, Agung dan Dewa. Ketiga orang itu ada di Jakarta. Tidak bergerak ke Jawa Barat. Ah, ya..., ada satu lagi musuh istrinya. Siapa lagi kalau bukan kepala sekolah yang kemarin lusa Niam datangi di hotel dan Niam hancurkan rekaman CCTVnya. Niam cekatan melacak nomer ponsel Tatina. Dia sempat menyabotase semua kontak di ponsel Sangiang, jadi dia punya nomer ponsel Tatina.

Kursos berproses membutuhkan waktu yang sedikit lama sehingga adrenalin memacu jantung Niam lebih cepat berdetak dari biasa ketika menunggu. Kalau dia tidak sedang dalam keadaan khawatir, Niam pasti bisa merasakan ngilu pada tulang iga karena kelakuan jantungnya yang sulit diatur itu. Detik-detik menunggu hasil pencariannya seperti detik berada dalam neraka. Siksa menunggu selalu lebih kelam dari apapun karena terjebak dalam ketidakpastian. Niam tahu itu, ia harus berdzikir agar tenang dan mampu berpikir jernih. Oke, ingat Allah. Bukankah begitu yang Sangiang percayai?

Lalu saat sinyal GPS menunjukkan keberadaan Tatina di Kabupaten Indramayu-lokasinya bisa ditempuh kurang lebih 4 jam dari Jakarta-Niam berseru. "Aku mendapatkannya, Nek."

Rasa lega hanya 0,000001 detik memenuhi kepala Niam, berikutnya pria itu meringis khawatir. Sangiang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Kebencian sering kali membutakan nalar jernih Tatina. Wanita itu akan melakukan apa saja hingga hidup Sangiang menderita. Menyadari bahwa tidak banyak waktu yang tersisa, Niam lekas bergerak. Ia menyampaikan analisis dan hal yang akan dia lakukan sekarang.

"Mereka di kecamatan Karangampel, tepatnya di desa Pringgacala dan terus bergerak. Kalau aku lewat Cirebon akan lebih lama karena jalan dibuat memutar ke timur. Jika lewat Bandung, resiko macet di Cileunyi sangat besar. Baiklah, aku akan lewat Subang. Nek, tetap pantau keberadaan Tatina dan informasikan padaku." Lho, bukankah tadi dirinya sempat mengambil mobil laraki epitome yang ada di rumah? "Astaghfirullah!" Niam baru ingat kalau dia membawa mobil terbang. Tekanan pada masalah membuat nalar sehatnya menguap separo. "Aku berharap, aku tidak terlambat, Nek."

Sangiang Pandita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang