Prolog

20.2K 1K 294
                                    

Hujan deras membasahi kota Jakarta. Sepasang insan muda sedang bergumul mesra dibalik selimut tanpa ikatan pernikahan. Umurnya yang belum genap delapan belas telah membawanya kedalam jurang kenikmatan sesaat, tak memedulikan akibat yang akan di hadapi mereka. Cinta telah membutakan dua remaja yang baru saja lulus SMA ini.

Sepulangnya dari prom night, sang pemuda mengantarkan pacarnya pulang ke rumahnya. Di sana tak ada siapa pun selain pembantu dan satpam yang bertugas. Ketika pemuda itu akan pulang, tiba-tiba hujan turun, Dia tidak mungkin pulang menerobos derasnya hujan dengan motor ninjanya. Entah setan mana yang merasuki dua remaja itu saat bibir mereka bersentuhan. Awalnya hanya untuk menghangatkan badan dari hawa dingin yang menusuk kulit, lama kelamaan ciuman itu menjadi lumatan yang menuntut, lebih dalam dan lebih lagi membuat mereka kebablasan.

"Ahhh...!" teriak meraka seiring dengan pelepasan yang baru saja mereka rasakan. Merasakan indahnya surgawi dunia dalam kesesatan.

Sebulan berlalu dari kejadian itu saat pemuda itu sedang mendaftarkan diri di salah satu universitas negeri yang ada di Ibu kota, dia dikejutkan oleh berita kehamilan sang pacar. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan tubuhnya melemas dengan kedatangan kabar bahagia bagi orang yang telah menikah, tapi baginya itu adalah berita terburuk yang pernah dia dapat sepanjang hidupnya. Menyesal sudah tidak ada gunanya.

Beberapa Minggu kemudian setelah dia bisa berdamai dengan hati dan akalnya, dia memberanikan diri datang ke rumah perempuan yang dicintainya. Dengan keberanian yang tinggi pemuda itu mengatakan yang sejujurnya pada orang tua pacarnya tentang semua kejadian yang sudah menimpa mereka dan juga untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, tapi bukan restu yang diperoleh, melainkan cacian, amarah, dan darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya yang dia dapatkan.

Setahun berlalu begitu lambat tanpa kehadiran sang kekasih yang dibawa pergi kedua orangtuanya ke luar negeri, tiba-tiba sepulang dia dari kampus, dia dikejutkan oleh kedatangan sang kekasih bersama seorang bayi perempuan. Cantik sekali. Tapi... ternyata kedatangan perempuan yang dicintainya itu hanya untuk meninggalkan luka baginya, dia datang untuk memberikan undangan pernikahan bersama sahabat karibnya dan juga untuk menyerahkan bayi mungil itu untuk dirawatnya. Perempuan itu berkata dengan sangat sadis bahwa dia tidak bisa merawat bayi itu, karna dia tidak sanggup dan juga tidak menginginkan bayi malang itu.

Mau tidak mau, dengan tangan bergetar dan juga rasa marah yang begitu besar serta rasa sakit yang semakin membuncah, pemuda itu mengambil sang bayi. Bagaimana pun juga, bayi itu adalah darah dagingnya.

Diperjalanan pulang, perasaan pemuda itu tak karuan, antara bingung dan takut bersarang di hatinya. Dia bingung apa yang harus dikatakan pada orang tuanya tentang bayi ini dan juga takut orang tuanya tidak menginginkan bayi ini.

"Tuhan... Apa yang harus aku lakukan?" Ucapnya.

Sesampainya di rumah, ketakutan yang dia rasakan sedari dalam perjalanan terbukti benar. Kedua orangtuanya tidak mau menerima bayi itu apalagi merawatnya. Rasa sakit yang menghujam pemuda itu bertambah pedih ketika kedua orangtuanya mengusir dari rumah yang telah membesarkannya. Ditemani pengasuh yang sudah dia anggap ibu sendiri, mereka pindah ke pinggiran kota Bandung. Di rumah pengasuh itulah kini dia bersama putri kecilnya tinggal memulai hidup baru.

"Den Ali bawa non Prilly ke dalam, sebentar lagi mau maghrib, pamali," ucap bi Ijah sang pengasuh yang tak tega melihat majikannya ini diusir dari rumahnya yang bak istana hanya karena takut nama baik pengusaha Mahendra tercoreng dengan kelakukan anak bungsunya ini yang telah membuahkan seorang anak diluar pernikahan.

Ali membawa putrinya masuk ke dalam rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bilik yang sangat sederhana, luasnya hanya sebesar kamarnya yang luas saat dia menjadi majikannya dulu.

"Bu, udah berapa kali Ali bilang jangan panggil Ali den lagi dan jangan panggil Prilly non lagi. Bi Ijah udah Ali anggap ibu sendiri dan Ali udah memanggil bibi ibu, jadi sekarang ibu panggil Ali dan Prilly tanpa embel embel den dan non. Mulai sekarang dan seterusnya kita satu keluarga, ibu adalah ibu Ali dan Prilly adalah cucu ibu," ucap Ali setelah menidurkan Prilly di atas kasur kapuk yang sudah lapuk.

"Tapi den..."

"Ali mohon bu," Ali memelas dengan menggenggam tangan bi Ijah. Ditatapnya wajah tua yang sangat berjasa baginya.

"Baiklah nak." Bi Ijah mengelus sayang rambut anak majikannya ini. Bi Ijah sudah dua puluh lima tahun bekerja di rumah Ali bersama suaminya, tapi setahun yang lalu sang suami meninggal dunia dan mereka tidak dikaruniai anak. Mereka menganggap Ali seperti anak kandungnya sendiri. Dan sekarang Ali benar benar menjadi anaknya.

"Doakan Ali keterima kerja ya bu. Besok Ali akan melamar pekerjaan ke kota."

"Doa ibu selalu menyertaimu nak."

"Ibu sekarang tidur ya, udah malam." Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul sembilan, tapi bi Ijah masih berkutat dengan pekerjaannya memayet kerudung, yang dihargai seribu rupiah tiap kerudung full payet olehnya, dan dalam sehari hanya sepuluh krudung yang bisa dia selesaikan dan itu yang selama ini menjadi mata pencaharian mereka selama Ali belum mendapatkan pekerjaan. Sudah berpuluh puluh kali Ali melamar pekerjaan dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain untuk menjadi OB, tapi ternyata pekerjaan kasar seperti itu pun susah dia dapatkan. Besok dia akan mencoba melamar ke toko atau mal yang ada di pusat kota. Untung saja bi Ijah punya kebun sayuran, peternakan ayam dan juga kolam ikan untuk lauk mereka sehari hari dan juga sedikit tabungan Ali untuk keperluan Prilly.

"Kamu duluan nak, ibu mau menyelesaikan ini."

"Tapi bu ini udah malam, Ali gak mau ibu nanti sakit." Ali sangat cemas akan kesehatan bi Ijah terutama kesehatan matanya karena bi Ijah mengerjakan pekerjaanya dengan penerangan seadanya dari lampu cempol. (Lampu yang terbuat dari kaleng yang diberi minyak tanah dan sumbu kompor).

"Kamu saja duluan nak." Bi Ijah masih keukeuh menyelesaikan pekerjaannya. Ali yang tak tega membantunya sebisa mungkin. Tak peduli jarinya berdarah tertusuk jarum karena dia belum terbiasa menjahit.

Ali akan berusaha mendapat pekerjaan dan Ali berjanji akan bahagiain ibu. Ucap Ali dalam hati, tak terasa air matanya jatuh. Untung saja bi ijah tak melihatnya karena penerangan yang sedikit gelap. Ali segera menyeka air matanya sebelum bi Ijah menyadarinya.

~ Dady... I love you ~

Bandung, minggu 7 februari 2016
Anti

Daddy... I Loveu YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang